Keniscayaan Sebuah Rahasia

7:42:00 AM

Jaga rahasiamu, jangan kau beberkan kepada siapapun, walau kepada isteri dan anak-anakmu. Karena tak menutup kemungkinan mereka akan memberitahukannya kepada orang lain meskipun mungkin tujuan mereka baik, contohnya ketika ada aparat menelpon rumahmu menanyakan keberadaan dirimu kemudian yang menjawab adalah anakmu lalu dia menjawab: “Baaba Za‘laan… ‘Amuu Abu Mush‘ab Maata.”

Intinya:

Pertama: Pentingnya berhati-hati dalam menjaga rahasia dari orang yang ingin memperolehnya. Dan sekedar tahu, kata-kata as-sirr (rahasia) disebut di dalam Al-Quran sebanyak 32 kali dengan ungkapan berbeda-beda.

Kedua: Boleh menjatuhkan hukuman yang menimbulkan efek jera kepada orang yang melampaui batas, dalam rangka menghentikan perbuatan dzalim di muka bumi. Sebab Alloh juga menghukum setan yang bertindak melampaui batas, yaitu ketika ia membocorkan rahasia-rahasia langit, dengan langsung membunuhnya menggunakan bintang-bintang langit yang selalu mengintai. Begitu juga, memberitahukan dan menyebar luaskan rahasia adalah perbuatan buruk, itu tidak boleh dilakukan kecuali terpaksa (darurat) dan sangat mendesak yaitu ketika ada maslahat yang lebih besar daripada jika rahasia itu disimpan. Jika menjaga rahasia adalah wajib, maka menyebarkannya adalah haram, karena akan menimbulkan bahaya, sementara memunculkan bahaya itu dilarang secara syar‘i dan merupakan pelanggaran janji, Alloh l mengharamkan khianat, serta melanggar janji. Dan dalam rangka menjaga rahasia, para Ulama memperbolehkan berbohong agar rahasia itu tidak diketahui orang.

Orang yang tidak bisa menjaga rahasia dan bersikap acuh ketika rahasia itu tersebar, pada dirinya ada tiga sifat tercela:

1. Hatinya sempit dan kesabarannya kurang.

2. Lengah dari sikap waspada yang seharusnya dimiliki setiap orang yang berakal, mengesampingkan sikap awas yang seharusnya dimiliki oleh orang yang cerdik. Orang seperti ini sebenarnya adalah orang yang dungu dan bodoh.

3. Ia melakukan sebuah tindakan bahaya dan penuh resiko yang tidak ia sadari akibatnya.

Oleh karena itu, terdapat ancaman sangat keras terhadap perbuatan menyebarkan rahasia. Renungkanlah firman Alloh Ta‘ala:

“Ayahnya (Nabi Yusuf) berkata: “Hai anakku, janganlah kamu ceritakan mimpimu itu kepada saudara-saudaramu, maka mereka membuat makar (untuk membinasakan) mu. Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagi manusia.” (QS. Yusuf: 5)

Adapun dalil dari Sunnah: Nabi –Alaihi `s-Sholatu wa `s-Salam—bersabda:

“Sungguh seseorang itu mengatakan suatu kalimat yang barangkali hanya untuk membuat orang yang duduk dengannya tertawa, padahal itu bisa melemparkannya sejarak lebih jauh daripada jarak antara langit dan bumi. Sungguh seseorang bisa tergelincir lidahnya dan berakibat lebih dahsyat daripada tergilincirnya kedua kakinya.” (HR. Baihaqi)

Berikut ini adalah contoh-contoh dari Sunnah Nabi dan para Salafus Sholeh dalam menjaga rahasia:

1. Ketika Umar bin Khothob mengangkat Qudamah bin Madh‘un sebagai gubernur pengganti dari Mughiroh, ia memerintahkannya untuk tidak memberitahu siapapun. Ketika itu Qudamah tidak punya bekal (untuk berangkat menunaikan tugas), maka isterinya pergi ke rumah keluarga Mughiroh, ia berkata: “Pinjamilah kami bekal untuk seorang musafir, sesungguhnya Amirul Mukminin telah mengangkat suamiku sebagai gubernur Kufah.” Mendengar itu, isteri Mughiroh memberitahu suaminya. Maka Mughiroh datang kepada Umar dan meminta izin untuk masuk menemuinya, lalu ia berkata: “Anda telah mengangkat Qudamah sebagai gubernur, dan sungguh dia adalah orang yang kuat lagi dapat dipercaya.” Umar bertanya: “Siapa yang memberitahumu?” Ia berkata: “Wanita-wanita Madinah, mereka memperbincangkan hal itu.” Maka Umar berkata: “Pergilah dan cabutlah ikatan janji dari Qudamah.” (Muhaadhorootu `l-Udabaa’i tulisan Al-Ashfahani, juz I hal. 75)

2. Ketika Nabi Muhammad berniat untuk menaklukkan Mekkah, beliau menyuruh Aisyah untuk menyiapkan perbekalannya. Ketika tengah sibuk menyiapkan bekal, tiba-tiba ayahnya, Abu Bakar, masuk ke rumahnya. Ia bertanya: “Puteriku, apakah Rosululloh menyuruhmu menyiapkan perbekalannya?”

“Iya,” jawab Aisyah.

“Ke manakah beliau hendak pergi?”

“Demi Alloh aku tidak mengerti.” kata Aisyah.

Beberapa saat setelah itu, Nabi n mengumumkan kepada orang-orang bahwa beliau hendak menuju Mekkah dan memerintahkan mereka untuk bekerja keras dan bersiap-siap, kemudian berdoa:

“Ya Alloh, cegahlah mata-mata dan sumber-sumber pemberitaan dari kaum Quraisy sampai kami kejutkan mereka di negeri mereka.”

Akan tetapi Hatib bin Abi Balta‘ah menulis surat kepada orang-orang Quraisy memberitahukan hal itu. Ia mengirim surat itu bersama seorang wanita dan memberinya hadiah. Wanita itu menyembunyikan surat tadi dalam gelungan kepalanya dan Hatib bertindak begitu jauh. Ketika itu Umar mengusulkan agar dia dibunuh, akan tetapi Nabi memaafkannya karena dia termasuk pengikut perang Badar. Terkait dengan peristiwa ini, turunlah firman Alloh Ta‘ala:

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi teman-teman setia yang kamu sampaikan kepada mereka (berita-berita Muhammad), karena rasa kasih sayang; padahal sesungguhnya mereka telah ingkar kepada kebenaran yang datang kepadamu, mereka mengusir Rosul dan (mengusir) kamu karena kamu beriman kepada Alloh, Robbmu. Jika kamu benar-benar keluar untuk berjihad di jalan-Ku dan mencari keridhaan-Ku (janganlah kamu berbuat demikian). Kamu memberitahukan secara rahasia (berita-berita Muhammad) kepada mereka, karena rasa kasih sayang padahal Aku lebih mengetahui apa yang kamu sembunyikan dan apa yang kamu nyatakan. Dan barangsiapa di antara kamu yang melakukannya, maka sesungguhnya dia telah tersesat dari jalan yang lurus.” (QS. Al-Mumtanahah: 1)

Sisi intelejen yang terdapat dalam kisah di atas adalah sikap Aisyah yang tidak memberitahu ayahnya tentang tujuan Nabi n, Nabi n berdoa agar Alloh mencegah mata-mata kaum Quraisy supaya beliau mengejutkan mereka, Nabi n marah atas perbuatan Hatib, Umar mengusulkan agar dia dibunuh, dan ancaman Alloh bagi mata-mata dan pengkhianat.

3. Nabi n dan Abu Bakar pernah pergi ke daerah Badar dan bertemu seseorang di tengah perjalanan, keduanya bertanya kepadanya tentang berita-berita mengenai kaum Quraisy. Dari orang ini juga mereka berdua tahu posisi kaum Quraisy. Tatkala memberi syarat bahwa ia harus tahu dari kabilah mana mereka berdua, maka Nabi n menjawab: “Terakhir, kami dari air,” lalu keduanya pergi sementara lelaki itu kebingungan memikirkan nasab atau arah yang disebutkan Nabi n tadi.

4. Apabila hendak pergi berperang, Nabi n menyamarkan, seolah-olah hendak menuju ke tempat lain (ber-tauriyah), misalnya ketika hendak berangkat ke perang Hunain beliau bersabda: “Bagaimana jalan menuju Nejed? Bagaimana kondisi airnya? Siapakah musuh yang ada di sana.”

Beliau pernah bersabda: “Perang adalah tipu daya.”

5. Hakim meriwayatkan dari Aisyah: Rosululloh n membuat sandi untuk kaum Muhajirin dalam perang Badar, yaitu: “Abdu `r-Rohman,” “Khozroj,” dan “Abdulloh”.

Hakim juga meriwayatkan dari Ibnu Abbas secara marfu‘: “…beliau menentukan sandi untuk kabilah Azdi: “Ya Mabruur…ya Mabruur.”

Ahmad, Abu Dawud dan Tirmizi meriwayatkan sebuah sabda Nabi: “Sesungguhnya di tengah-tengah kalian ada musuh, maka ucapkanlah: Haa Miim Laa yunshoruun.”

Dan dari Salamah bin Al-Akwa‘: “Kami pernah berperang bersama Abu Bakar di zaman Rosullulloh (masih hidup), sandi kami ketika itu adalah: “Amit…amit…” (HR. Ahmad dan Abu Dawud) atau terkadang: “Ya Manshuur…Amit.”

6. Ketika perang Uhud usai, Abu Sufyan berteriak: “Adakah Muhammad di antara kalian? Adakah Abu Bakar di antara kalian? Adakah Umar di antara kalian?” Nabi n memerintahkan untuk tidak menjawab teriakannya itu, supaya kaum musyrikin tidak kembali berperang sementara darah pada luka-luka kaum Muslimin belum lagi mengering.

7. Juga dalam perang Uhud, setan berteriak: “Muhammad telah terbunuh.” Mendengar itu ada sebagian kaum Muslimin yang meletakkan senjatanya, kemudian Anas bin Nadhr melewati mereka dan berteriak: “Apa maksud kalian duduk-duduk seperti itu?!!” “Muhammad telah terbunuh.” kata mereka. Anas berkata: “Lalu apalah arti hidup setelah kepergian Muhammad? Bangkitlah dan marilah mati sebagaimana beliau mati.”

Pernah terjadi peristiwa bahwasanya Nu‘man bin Muqrin –komandan perang Nahawand—gugur di saat pertempuran tengah berlangsung, namun kaum Muslimin merahasiakan hal itu sampai mereka meraih kemenangan.

Alloh Ta‘ala berfirman:

“Hai orang-orang yang beriman, bersiap siagalah kamu, dan majulah (ke medan pertempuran) berkelompok-kelompok, atau majulah bersama-sama!” (QS. An-Nisa’: 71)

Dan berfirman:

“Dan apabila kamu berada di tengah-tengah mereka (sahabatmu) lalu kamu hendak mendirikan shalat bersama-sama mereka, maka hendaklah segolongan dari mereka berdiri (shalat) besertamu dan menyandang senjata, kemudian apabila mereka (yang shalat besertamu) sujud (telah menyempurnakan serakaat), maka hendaklah mereka pindah dari belakangmu (untuk menghadapi musuh) dan hendaklah datang golongan yang kedua yang belum bersembahyang, lalu bersembahyanglah mereka denganmu, dan hendaklah mereka bersiap siaga dan menyandang senjata. Orang-orang kafir ingin supaya kamu lengah terhadap senjatamu dan harta bendamu, lalu mereka menyerbu kamu dengan sekaligus. Dan tidak ada dosa atasmu meletakkan senjata-senjatamu, jika kamu mendapat sesuatu kesusahan karena hujan atau karena kamu memang sakit; dan siap siagalah kamu. Sesungguhnya Alloh telah menyediakan azab yang menghinakan bagi orang-orang kafir itu.” (QS. An-Nisa’: 102)

Tipudaya memiliki banyak seni, ini diketahui oleh para pakar perang. Di antaranya adalah tekhnik bersembunyi, kamuflase, berkelit… Berikut ini kami sebutkan beberapa masalah syar‘i terkait dengan tipudaya, yaitu:

Pertama: Membohongi Musuh

a) Ketika dalam kondisi perang; dalam hal ini terdapat hadits Ummu Kultsum binti ‘Uqbah s ia berkata: “Aku belum pernah mendengar Rosululloh n memberi kelonggaran untuk berbohong selain ketika seseorang mengucapkannya dalam pertempuran, atau mendamaikan orang, atau kata-kata suami kepada isteri dan isteri kepada suami.” (HR. Ahmad dan Muslim, Abu Dawud juga meriwayatkannya dari Asma binti Yazid s)

b) Adapun membohongi musuh di luar kondisi perang, maka itu diperbolehkan berdasarkan beberapa alasan, di antaranya jika berbohong itu mendatangkan mashlahat agama dan dunia bagi seorang mukmin, atau dalam rangka mengelak gangguan orang-orang kafir. Dalil-dalil yang menunjukkan hal itu adalah:

(1) Kisah Nabi Ibrohim q. Rosululloh n bersabda: “Nabi Ibrohim tidak pernah berbohong kecuali tiga kali; dua di antaranya beliau lakukan karena Alloh k yaitu ketika beliau mengatakan: “…aku sedang sakit,” dan: “…yang melakukan semua ini adalah patung terbesar ini.” Rosululloh n melanjutkan: “…suatu hari beliau bersama Saarroh datang ke negeri seorang penguasa bengis, kemudian raja itu diberitahu bahwa di negeri ini ada seorang lelaki bersama seorang wanita yang sangat cantik. Maka Nabi Ibrohim dipanggil, ia bertanya kepada beliau: “Siapa ini?” beliau menjawab: “Saudariku.” Kemudian Nabi Ibrohim menghampiri Saarroh dan berkata kepadanya; “Wahai Saarroh, di bumi ini tidak ada orang beriman selain aku dan kamu. Orang itu menanyaiku tentang dirimu maka kukatakan kepadanya bahwa kamu adalah saudariku, maka janganlah engkau menganggapku berdusta…” (HR. Bukhori dari Abu Huroiroh, hadits no. 3358)

Berbohong di dalam kisah ini ada yang dalam rangka kemashlahatan agama dan ada juga yang dalam rangka melepaskan diri dari gangguan orang-orang kafir, dan dua-duanya diperbolehkan.

(2) Kisah Ash-habu `l-Ukhdud; tentang kisah ini terdapat riwayat dari Shuhaib a bahwasanya Rosululloh n bersabda: “Dulu ada raja yang hidup di zaman sebelum kalian, ia memiliki tukang sihir. Ketika usia tukang sihir mulai senja, ia berkata kepada raja: “Aku sudah tua, utuslah seorang pemuda kepadaku supaya kuajarkan ilmu sihir.” Maka raja itupun mengirim seorang pemuda (ghulam) untuk menjadi murid si tukang sihir. Ketika di tengah perjalanan, pemuda itu melewati seorang rahib (pendeta), lalu ia duduk dan mendengar perkataannya, ia terkesima dengan kata-kata rahib itu. Setiap kali ia berangkat ke tukang sihir, selalu ia melewati rahib dan duduk di sana, maka sesampai di tempat tukang sihir, ia cambuk pemuda itu. Pemuda itu mengadukannya kepada rahib, rahib berkata: “Jika kamu takut kepada tukang sihir, katakan: Keluargaku menahanku. Jika kamu takut keluargamu, katakan: Tukang sihir menahanku.”

An-Nawawi berkata, menerangkan hadits ini: “Hadits ini berisi kebolehan berbohong dalam perang dan lain-lain dalam rangka menyelamatkan nyawa dari kebinasaan, baik nyawa dirinya atau nyawa orang lain yang haram untuk dibunuh.” (Shohih Muslim bi Syarhi `n-Nawawi juz XVIII/ 130)

An-Nawawi berkata di tempat lain: “Mereka mengatakan: tidak ada perselisihan pendapat bahwa ketika ada orang dzalim yang ingin membunuh seseorang yang sedang bersembunyi di tempat seseorang, maka ia wajib berbohong dengan mengatakan tidak tahu keberadaan orang yang akan ia bunuh itu.” (Shohih Muslim bi Syarhi `n-Nawawi juz XVI/ 158)

Kedua: Bolehnya Membunuh Orang Kafir Harbi Secara Diam-diam (Ightiyal)

Masalah ini terisyaratkan di dalam firman Alloh Ta‘ala:

“Apabila sudah habis bulan-bulan Haram itu, maka bunuhlah orang-orang musyrikin itu di mana saja kamu jumpai mereka, dan tangkaplah mereka. Kepunglah mereka dan intailah ditempat pengintaian. Jika mereka bertaubat dan mendirikan sholat dan menunaikan zakat, maka berilah kebebasan kepada mereka untuk berjalan. Sesungguhnya Alloh Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. At-Taubah: 5)

Al-Qurthubi v berkata: “…dan intailah mereka di tempat pengintaian…” maksudnya intailah mereka di saat mereka lengah di tempat mereka bisa diintai. Ini adalah dalil bolehnya ightiyal terhadap orang kafir sebelum mendakwahi mereka.” (Tafsir Al-Qurthubi juz VIII/ 73 cet. Darul Hadits.

Adapun dalil dari Sunnah: Rosululloh n pernah memerintahkan untuk membunuh Ka‘ab bin Al-Asyrof dan Abu Rofi‘, kedua-duanya adalah orang Yahudi.

Ibnu Hajar v berkata: “Hadits tersebut berisi bolehnya membunuh orang musyrik tanpa harus mendakwahinya terlebih dahulu jika dakwah Islam secara umum telah sampai kepadanya. Hadits tersebut juga berisi bolehnya mengatakan sesuatu yang diperlukan dalam perang walaupun kata-kata itu tidak sesuai dengan yang sebenarnya.” (Fathu `l-Bari juz VII/ 340). Bukhori mengeluarkan hadits ini dalam Kitabul Jihad, bab: Berdusta Dalam Perang dan Bab Membunuh Orang Kafir Harbi.

Imam Nawawi v berkata: “Al-Qodhi ‘Iyadh berkata: “Tidak boleh seorang pun mengatakan bahwa ightiyal adalah mengkhianati janji, dulu pernah ada seseorang mengatakannya di majelis ‘Ali bin Abi Tholib a maka ia perintahkan agar orang itu dipenggal lehernya.” (Shohih Muslim bi Syarhin Nawawi : XII/160)

Bolehnya membunuh orang-orang kafir Harbiy ini diperkuat dengan kisah pembunuhan Ibnu Abi `l-Huqoiq, seorang Yahudi asal Khaibar. Dialah orang yang pergi ke Mekkah dan membujuk rayu orang-orang Quraisy perihal Nabi n hingga akhirnya mereka bersekutu dalam perang Ahzab, dialah yang menyulut pecahnya perang Ahzab.

Bukhori meriwayatkan dari Al-Barro’ bin ‘Azib ia berkata: “Rosululloh n mengutus satu pasukan kepada Abu Rofi’--- nama lain Ibnu Abil Huqoiq, pent. ---, maka Abdulloh bin ‘Atiq masuk ke kediamannya di malam hari ketika ia terlelap tidur lalu membunuhnya.” (Shohih Bukhori hadits no. 40)

‘Abdulloh bin ‘Atiq melakukan berbagai kamuflase sehingga ia berhasil membunuhnya. Ia melakukan kamuflase sehingga berhasil masuk ke dalam benteng, kemudian ia tutup pintu orang-orang Yahudi dari luar, ia berjalan hingga sampai ke tempat Abu Rofi’, tidaklah ia memasuki sebuah pintu kecuali ia kunci dari dalam, ia juga merubah suaranya sehingga tidak dikenali.

Ibnu Hajar berkata:

“Termasuk faedah hadits ini adalah:

- Bolehnya membunuh orang musyrik secara diam-diam, yang sudah didakwahi tapi tetap musyrik, atau orang yang melakukan konspirasi untuk memerangi Rosululloh Shollallohu ‘alaihi wa sallam dengan tangan, harta, atau lisannya.

- Bolehnya melakukan spionase terhadap orang-orang kafir Harbi serta bersikap keras dalam memerangi orang musyrik, boleh juga menyamarkan ucapan untuk tujuan maslahat, dan diperbolehkan juga bagi pasukan Islam yang sedikit menerobos orang musyrik yang berjumlah banyak.” (Fathu `l-Bari juz VII/345)

Semisal dengan kisah pembunuh thoghut-thoghut itu adalah kisah pembunuhan Kholid bin Sufyan Al-Hudzali, seperti diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Abu Dawud dan Baihaqi dari Abdulloh bin Unais ia berkata, “Rosululloh n memanggilku lalu bersabda, “Telah sampai berita kepadaku bahwa Kholid bin Sufyan bin Nubaih mengumpulkan manusia untuk memerangiku dan kudengar dia berada di ‘Aronah, datangilah dia dan bunuhlah dia.”

Aku berkata, “Wahai Rosululloh, sebutkan ciri orangnya sehingga aku bisa mengenalinya.”

“Jika engkau melihatnya, tubuhnya agak menggigil.”

“Maka aku berangkat sembari menyandang pedangku, hingga aku berhasil menemukan orang itu di Aronah bersama beberapa wanita yang menyertainya di dalam rumah, ketika itu waktu sholat Asar tiba. Ketika aku melihatnya, ternyata dia persis seperti yang digambarkan Rosululloh n yaitu badannya menggigil. Aku menghampirinya, tapi aku khawatir aku tidak bisa sholat karena tidak ingin terhalang dari dia, maka aku sholat dengan isyarat kepala ketika ruku dan sujud, sambil terus berjalan menghampirinya. Ketika aku sampai ke posisinya, ia berkata, “Siapa kamu?”

“Lelaki yang mendengar berita tentang dirimu dan tindakanmu memobilisasi massa untuk menyerang Muhammad, aku datang untuk urusan itu.” jawabku.

Ia berkata, “Benar, aku memang melakukannya.”

Maka aku berjalan beriringan dengannya beberapa langkah hingga ketika aku berhasil mengambil posisi yang tepat, aku tusuk dia dengan pedang hingga tewas. Kemudian aku pergi dan kubiarkan wanita-wanitanya itu bersungkur pada jasadnya. Maka tatkala aku menghadap Rosululloh n dan beliau melihatku, beliau bersabda, “Beruntunglah wajahmu.”

“Aku berhasil membunuhnya, wahai Rosululloh,” kataku.

Beliau bersabda, “Kamu benar.”

Asy-Syaukani berkata di dalam Nailu `l-Author juz III/ 213: “Abu Dawud dan Al-Mundziri tidak mengomentari hadits ini, sementara Al-Hafidz Ibnu Hajar di dalam Fathu `l-Bari menilai isnadnya hasan.”

Seperti bisa dilihat dari kisah ini, target pembunuhan Kholid bin Sufyan adalah menggagalkan rencananya untuk memerangi kaum Muslimin.

Tentang masalah ightiyal ini, Syaikh Abdur-Rohman Ad-Dausariy v berkata, ketika menyebutkan tingkatan-tingkatan ibadah dalam Tafsir firman Alloh Ta‘ala:

“Kemudian, menyiapkan kekuatan semampunya termasuk kewajiban agama dan konsekuensi bagi siapa yang ingin menegakkannya. Seorang ahli ibadah yang benar tidak akan nyaman menunda-nunda perkara ini, apalagi meninggalkan atau meremehkannya.

Demikian juga, seorang hamba yang memiliki tekad kuat untuk berjihad, dalam waktu yang sama pasti ingin menjadi pelaku ightiyal terhadap A’immatul Kufri (pemimpin-pemimpin kekufuran); para penyeru kesesatan dan perbuatan amoral serta orang-orang yang mencela wahyu Alloh dan yang menggerakkan pena atau propagandanya untuk menentang agama yang lurus ini. Karena mereka telah menyakiti Alloh dan Rosul-Nya n.

Tidak dibenarkan bagi kaum muslimin di jengkal bumi manapun, baik yang paham agama atau yang awam, membiarkan orang seperti mereka tetap hidup, karena mereka lebih berbahaya daripada Ibnul Huqoiq dan semisalnya yang oleh Rosululloh n diperintahkan untuk dibunuh diam-diam (ightiyal).

Maka, tidak membunuh orang-orang yang menjadi pewaris mereka di zaman sekarang, sama artinya dengan meninggalkan wasiat Nabi n, berarti pula: ada kekurangan fatal di dalam ‘ubudiyah terhadap Alloh dan berarti ada kompromi yang begitu jauh dengan mereka yang menjadi sarana-sarana penghancur agama Alloh.

Tidak ada yang lapangkan dadanya melihat hal ini selain orang yang tidak memiliki kecemburuan terhadap agama Alloh dan tidak marah karena mengharap wajah-Nya yang mulia.

Itu juga kekurangan yang besar dalam aspek kecintaan serta pengagungan terhadap Alloh dan Rosul-Nya, tidak akan mungkin dilakukan oleh orang yang merealisasikan Ubudiyyah kepada Alloh dengan maknanya yang tepat dan diperintahkan.” Shofwatul Atsar wal Mafahim min Tafsiril Qur’anil ‘Adzim Syaikh Abdurrohman Ad-Dausari, juz I hal.263.

Ketiga: Kerahasiaan (Sirriyah) Menurut Islam

1) Sirriyah dalam Dakwah.

Pada asalnya, dakwah Islam ini harus disampaikan secara terang-terangan dan terbuka. Sebab, dakwah Islam adalah dakwah untuk semua makhluk, sesuai firman Alloh Ta‘ala:

“Maka sampaikanlah olehmu secara terang-terangan segala apa yang diperintahkan (kepadamu) dan berpalinglah dari orang-orang yang musyrik.” (QS. Al-Hijr: 94)

Kendati menurut hukum asalnya dakwah itu harus dilakukan secara terang-terangan dan terbuka, tapi dakwah Nabi Muhammad n dimulai secara rahasia. Sebab di awal-awal Islam, kondisinya masih sangat lemah.

Begitulah seharusnya seluruh pengikut Nabi Muhammad n kapan pun dan di mana pun mereka berada, hendaknya mereka mencontoh petunjuk beliau dalam menentukan kapan harus bertindak rahasia dan kapan harus terbuka, disesuaikan dengan kekuatan dan kemampuan yang ada.

2) Kerahasiaan Seseorang Dalam Menyembunyikan Keimanannya

Firman Alloh Ta‘ala:

“Dan seorang laki-laki yang beriman di antara pengikut-pengikut Fir'aun yang menyembunyikan imannya berkata: "Apakah kamu akan membunuh seorang laki-laki karena dia menyatakan: "Tuhanku ialah Alloh padahal dia telah datang kepadamu dengan membawa keterangan-keterangan dari Tuhanmu. Dan jika ia seorang pendusta maka dialah yang menanggung (dosa) dustanya itu; dan jika ia seorang yang benar niscaya sebagian (bencana) yang diancamkannya kepadamu akan menimpamu". Sesungguhnya Alloh tidak menunjuki orang-orang yang melampaui batas lagi pendusta.” (QS. Ghofir: 28)

Alloh Ta‘ala berfirman tentang Ash-habul Kahfi:

“Dan demikianlah Kami bangunkan mereka agar mereka saling bertanya di antara mereka sendiri. Berkatalah salah seorang di antara mereka: “Sudah berapa lamakah kamu berada (disini?).” Mereka menjawab: “Kita berada (disini) sehari atau setengah hari.” Berkata (yang lain lagi): “Robb kamu lebih mengetahui berapa lamanya kamu berada (di sini). Maka suruhlah salah seorang di antara kamu untuk pergi ke kota dengan membawa uang perakmu ini, dan hendaklah dia lihat manakah makanan yang lebih baik, maka hendaklah ia membawa makanan itu untukmu, dan hendaklah ia berlaku lemah-lembut dan janganlah sekali-kali menceritakan halmu kepada seorang pun.” (QS. Al-Kahfi: 19)

Kerahasiaan terkandung di dalam firman Alloh Ta‘ala: “…dan janganlah sekali-kali menceritakan halmu kepada seorang pun.”

Dan di dalam kisah masuk Islamnya Abu Dzar Al-Ghifari a disebutkan bahwa dia masuk ke rumah Nabi n dan berkata: “Jelaskan Islam kepadaku.” Maka Nabi n menjelaskannya. Abu Dzar berkata: “Saat itu juga aku pun masuk Islam. Kemudian beliau berpesan kepadaku: “Wahai Abu Dzar, rahasiakanlah urusan ini dan pulanglah ke daerahmu. Jika kelak engkau mendengar kami telah menang, datanglah.” Aku berkata: “Demi Dzat yang mengutusmu dengan kebenaran, sungguh aku akan menyatakan terus terang urusan ini di hadapan kaumku.” (HR. Bukhori di dalam Shohih-nya no. 3522)

Seperti Anda lihat, menyembunyikan iman –atau dalam hal ini kita istilahkan kerahasiaan—itu boleh dan dibenarkan menurut syar‘i, khususnya jika dalam kondisi takut terhadap gangguan orang-orang kafir.

3) Kerahasiaan Dalam Kegiatan ‘Askariy:

a. Bukhori meriwayatkan dari Ka‘ab bin Malik tentang kisah ketidak ikut sertaannya dalam perang Tabuk, Ka‘ab berkata: “Tidaklah Rosululloh n hendak menuju suatu peperangan melainkan beliau samarkan seolah hendak pergi ke tempat lain. Lalu tibalah saat di mana Rosululloh n hendak berperang di saat cuaca sangat panas, beliau hendak menempuh perjalanan jauh menyebarangi sahara, musuh yang dihadapi sangat banyak jumlahnya, maka Rosululloh n menjelaskan kepada kaum Muslimin urusan yang akan mereka hadapi agar mereka bisa bersiap-siap menempuh peperangan mereka kali ini, hanya di perang inilah beliau memberitahukan hendak ke mana beliau hendak menuju.”

Perkataan Ka‘ab: “Tidaklah Rosululloh n hendak menuju suatu peperangan melainkan beliau samarkan seolah hendak pergi ke tempat lain,” menunjukkan bahwa prinsip dasar dalam kegiatan-kegiatan yang bersifat ‘askari adalah rahasia.

Hadits seperti ini juga diriwayatkan Abu Dawud, redaksinya: “(Ka‘ab berkata): Rosululloh n juga mengatakan: “Perang adalah tipu daya.” Dalam hadits ini terdapat sebuah kesimpulan yang terkait dengan aspek kerahasiaan, yaitu: Komandan boleh memberangkatkan suatu pasukan meskipun sebagian besar dari mereka tidak tahu hendak menuju ke arah mana. Rumus ini penting diketahui supaya jangan ada pasukan yang mengatakan: “Aku tidak mau berangkat berperang sampai aku tahu ke mana tujuannya dan di mana musuh berada.”

Hadits ini juga berisi kesimpulan lain, yaitu: Informasi tidak hanya dirahasiakan dari musuh, dari teman sendiri pun informasi boleh dirahasiakan. Sikap ini bukan sebuah pengkhianatan, namun bertujuan untuk membatasi peredaran informasi dalam ruang yang sesempit mungkin dan agar jangan sampai bocor kepada musuh. Sebab, musuh juga punya mata-mata, sementara terkadang teman kita yang menyampaikan informasi.

b. Dalil lain adalah peristiwa Baiat Aqobah terhadap Kaum Anshor. Baiat ini juga dilakukan secara rahasia. Ibnu Katsir meriwayatkan kisah Baiat ini, ia berkata: “Ibnu Ishaq berkata dari Ma‘bad bin Abdillah bin Ka‘ab bin Malik dari ayahnya ia berkata: “…malam itu kami tidur di dalam kendaraan-kendaraan kami, ketika seperti tiga malam pertama berlalu kami keluar dari kendaraan-kendaraan kami untuk menuju tempat yang kami janjikan kepada Rosululloh n, kami menyelinap sembari mengendap-endap dan bersembunyi hingga kami semua berkumpul di sebuah lembah dekat Aqobah, jumlah kami adalah 73 pria dan dua orang wanita dari kalangan isteri-isteri kami.” (Al-Bidayah wa `n-Nihayah Ibnu Katsir juz III/ 160)

Ibnu Katsir berkata lagi: “Baihaqi menceritakan dengan sanadnya dari Amir Asy-Sya‘bi ia berkata: “Rosululloh n berangkat bersama pamanya, Abbas, menemui 70 orang Anshor di Aqobah, di bawah sebuah pohon, beliau bersabda: “Silahkan salah seorang dari kalian berbicara, namun tidak usah memperpanjang pembicaraan, karena orang-orang Musyrik mengawasi kalian, jika mereka tahu keberadaan kalian mereka akan menghinakan kalian.” (Al-Bidayah wa `n-Nihayah juz III/ 163, hadits ini diriwayakan juga oleh Ahmad dengan sanadnya dari Asy-Sya‘bi dari Abu Mas‘ud Al-Anshori secara maushul)

c. Dalil lainnya adalah peristiwa Hijrahnya Nabi n dari Mekkah ke Madinah. Peristiwa hijrah ini juga dilakukan secara rahasia.

Kerahasiaan dan kitman dalam perisitwa hijrah tidak perlu kita kupas lagi karena sudah cukup masyhur. Namun kami akan menyinggung sekelumit kisah ini seperti yang diriwayatkan oleh Bukhori v dari Aisyah s, ia berkata: “Abu Bakar telah bersiap-siap menuju Madinah, maka Rosululloh n mengatakan kepadanya: “Jangan terburu-buru, sebab aku berharap mendapatkan izin terlebih dahulu.” Abu Bakar berkata: “Demi ayah dan ibuku, apakah engkau mengharapkannya?” “Ya,” jawab Rosululloh. Maka Abu Bakar menahan diri untuk tetap bertahan bersama Rosululloh n agar bisa menemani beliau. Ia memberi pakan dua binatang tunggangannya dengan daun samir selama empat bulan.”

Ibnu Syihab berkata: Urwah berkata: Aisyah berkata: “…suatu ketika, di saat kami tengah duduk-duduk di rumah Abu Bakar di siang hari, ada yang memberitahu Abu Bakar: “Ini ada Rosululloh, datang menggunakan penutup muka di saat yang tidak biasanya ia datang kepada kita.”

Abu Bakar berkata: “Ayah dan ibuku menjadi penebusnya, demi Alloh tidaklah ia datang di waktu seperti ini melainkan ada suatu urusan.”

Rosululloh n datang, beliau meminta izin masuk dan diizinkan. Beliau berkata kepada Abu Bakar: “Suruhlah orang-orang yang ada di tempatmu ini keluar.” Abu Bakar berkata: “Sesungguhnya mereka adalah keluargamu juga, wahai Rosululloh, demi ayah dan ibuku..”

Rosullulloh n bersabda: “Sesungguhnya aku telah mendapat izin untuk berangkat.” Abu Bakar berkata: “Pendamping, wahai Rosululloh? Demi ayah dan ibuku.” “Ya,” jawab Rosul. Abu Bakar berkata: “Kalau begitu, wahai Rosululloh, ambillah salah satu dari dua hewan tunggangan ini.” Rosullulloh berkata: “Dengan harga.”

Aisyah berkata: “Maka kami menyiapkan bekal mereka berdua dengan bekal secepat mungkin. Kami buatkan sebuah wadah dalam geriba untuk mereka, lalu Asma binti Abu Bakar memotong salah satu ikat pinggangnya dan mengikatkannya pada mulut geriba itu, karena itulah ia dijuluki Dzatu `n-Nithoqoin (pemilik dua ikat pinggang),”

Aisyah melanjutkan kisahnya: “Kemudian Rosululloh n dan Abu Bakar pergi ke sebuah gua di Gunung Tsur dan bersembunyi di sana selama tiga malam. Abdulloh bin Abu Bakar ikut menginap mendampingi mereka, dia dalah seorang pemuda yang masih belia tapi cerdik dan pintar. Dia meninggalkan mereka setiap tiba waktu sahur, sehingga paginya ia sudah berada di Mekkah di tengah-tengah kaum Quraisy layaknya orang yang tadi malam tidur di Mekkah. Maka tidak ada satu persengkongkolan pun yang diarahkan kepada Rosululloh dan Abu Bakar melainkan ia ingat-ingat sebelum ia sampaikan hal itu kepada mereka berdua di saat malam telah gelap.

Sedangkan Amir bin Fahiroh, anak angkat Abu Bakar, menggembalakan kambing untuk mereka berdua, ia menggiring kambing-kambing itu ke tempat mereka selepas waktu Isya, sehingga di malam hari mereka berdua tidur setelah meminum susu yang diberikan untuk mereka setelah direbus, hingga ia memberitahukan bahwa waktu Subuh telah tiba. Ia melakukannya setiap malam selama tiga malam itu. Rosululloh n dan Abu Bakar juga menyewa seorang lelaki dari Bani Dail yang masih memeluk agama Quraisy untuk mengamankan mereka berdua. Mereka memberikan hewan tunggangannya kepada lelaki ini dan sepakat bertemu sembari membawa hewan tunggangan tersebut di gua Tsur setelah tiga malam berlalu, tepatnya di waktu Subuh hari ketiga. Akhirnya Amir bin Fahiroh dan penunjuk jalan ini mendampingi perjalanan Rosululloh dan Abu Bakar, ia melewatkan mereka melalui jalur pantai.” (Shohih Bukhori hadits no. 3905)

d. Dalil lain adalah kisah Nu‘aim bin Mas‘ud yang merahasiakan keislamannya, hingga akhirnya ia berhasil mengadu domba antara pasukan Sekutu dan Bani Quroidzoh pada perang Ahzab.

Ibnu Ishaq berkata: “Nu‘aim mendatangi Nabi n dan berkata: “Wahai Rosululloh, saya telah masuk Islam dan kaumku tidak mengetahuinya. Maka perintahkanlah aku sesukamu.” Rosululloh n bersabda: “Kamu dalam tubuh kami adalah satu-satunya, maka adu dombalah (musuh) jika engkau bisa, karena perang itu tipu daya.” (Al-Bidayah wa `n-Nihayah juz IV/ 111, dan Fathu `l-Bari juz VII/ 402)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menyatakaan bahwa seorang Muslim boleh –bahkan wajib—dalam beberapa kondisi untuk berpenampilan menyerupai orang-orang Musyrik, seperti dalam berpakaian atau yang lainnya, jika itu dilakukan dalam rangka kepentingan-kepentingan seperti dalam hadits tersebut. Karena, kerahasiaan adalah salah satu kaidah perang yang disepakati seluruh umat manusia, baik yang mukmin maupun yang kafir. Dari sini pula disimpulkan bahwa memata-matai orang-orang Islam adalah perbuatan dosa besar yang menurut syariat pelakunya harus diberi hukuman berat.

Dan, maa laa yatiimu `l-waajib illaa bihi fahuwa waajib…kewajiban yang tak bisa dijalankan dengan baik selain dengan sesuatu hal, maka sesuatu hal itu menjadi wajib. Maka kita mesti sepakat bahwa suatu jamaah harus memiliki pemimpin dan mereka yang duduk di jajaran kepemimpinan, dan di sisi lain unsur ketaatan harus terpenuhi; sebab pimpinanlah yang memberi keputusan tentang bagaimana seseorang harus bergerak, kapan waktu yang tepat untuk bergerak secara terbuka atau sembunyi-sembunyi.

Sekarang ini kita sedang dalam kondisi perang terbuka melawan musuh-musuh kita, sedangkan perang adalah tipu daya. Secara mutlak, perang ini membutuhkan kerahasiaan dalam bergerak dan berorganisasi, perlu mensinergikan antara kerahasiaan dan keterbukaan dalam berdakwah dan merekrut anggota. Nah, di sini, kami rasa perlu mengingatkan akan sabda Nabi n:

“Manfaatkanlah kerahasiaan dan ketertutupan (kitman) untuk membantu memenuhi kebutuhan kalian.”

Nabi n telah mempraktekkan anjuran dan kaidah keamanan ini dalam seluruh kehidupannya, terutama dalam peperangan-peperangan yang beliau jalankan. Terbukti bahwa beliau selalu menyamarkan musuh yang hendak diserang dan ke mana arah kepergiannya, sampai tiba waktu menyerang. Alloh Ta‘ala berfirman:

“Dan janganlah kamu mendekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih baik (bermanfaat) sampai ia dewasa dan penuhilah janji; sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggungan jawabnya.” (QS. Al-Isro’: 34)

Rosululloh n telah mensunnahkan kerahasiaan dalam jihadnya dan dalam semua kehidupannya. Beliau selalu menyamarkan musuh yang akan diserang dalam pertempurannya. Berikut ini penuturan Anas a: “Rosululloh n pernah menyampaikan sebuah rahasia kepadaku, maka aku tidak pernah memberitahukan rahasia tersebut kepada siapapun sepeninggal beliau. Pernah Ummu Sulaim menanyakannya kepadaku, tapi aku tidak memberitahunya.” (HR. Bukhori).

Konon ada seorang lelaki yang menceritakan sebuah rahasia kepada temannya, setelah itu ia bertanya: “Apakah kamu faham?” Ia menjawab: “Tidak, aku belum mengerti.” Ia bertanya lagi: “Apa kamu ingat?” Ia berkata, “Tidak, aku lupa.” Jawaban ini ia maksudkan bahwa dirinya tidak akan menyampaikan rahasia tersebut kepada siapapun.

HAL-HAL YANG MESTI DIINGAT DALAM MASALAH KERAHASIAAN:

1. Membuka rahasia adalah “khianat kecil”.

Disebutkan dalam sebab turun ayat yang berbunyi:

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Alloh dan Rosul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui.” (QS. Al-Anfal: 27)

Bahwa ayat ini turun mengenai Abu Lubabah bin Abdu `l-Mundzir Al-Anshori a, ketika Rosululloh n mengepung Yahudi Bani Quroidzoh selama 21 malam. Mereka mengirim utusan kepada Rosululloh n: “Tolong kirimkan Abu Lubabah kepada kami untuk kami ajak berunding tentang urusan kami,” demikian pinta mereka. Maka Rosululloh n pun mengirim Abu Lubabah datang kepada mereka. Mereka berkata: “Wahai Abu Lubabah, apa perkiraanmu jika kami patuh kepada hukum Muhammad?” Maka Abu Lubabah memberi isyarat dengan meletakkan tangannya ke lehernya –maksudnya kalian akan disembelih, jadi jangan lakukan itu—. Setelah itu Abu Lubabah menyesal dan berkata: “Demi Alloh! Kedua kakiku tidak beranjak sampai aku sadar aku telah mengkhianati Alloh dan Rosul-Nya.” Karena, Abu Lubabah tahu hukuman yang akan dijatuhkan kepada Bani Quroidhoh yaitu disembelih. Akan tetapi ia memberi isyarat dengan tangannya sehingga itu merupakan pengkhianatannya terhadap amanah majelis.

2. Membuka Rahasia Adalah “Khianat Besar”:

Menjaga rahasia sebuah majelis adalah amanah besar yang harus dijaga, tidak boleh menyebarkan berbagai urusan dan informasi penting yang ada di majelis tersebut. Menyebarkan hal seperti ini terkadang bisa menjadi sebuah pengkhianatan besar, seperti yang terjadi dalam kisah Hatib bin Abi Balta‘ah a (riwayat Bukhori) ketika ia menceritakan kepada para pembesar di Mekkah tentang informasi bahwa Rosululloh n hendak menyerang Mekkah.

TELADAN PARA SALAF DALAM MENJAGA RAHASIA:

Dari Abdulloh bin ‘Umar h bahwa puteri dari Umar, Hafshoh h, menjanda, Umar berkata: “Aku datang kepada Utsman bin Affan menawarkan Hafshoh kepadanya. Ia berkata: “Aku pertimbangkan dulu.” Beberapa malam kemudian ia menemuiku dan berkata: “Aku berkesimpulan pada hari ini aku tidak akan menikah.” Umar melanjutkan: “Maka aku datang kepada Abu Bakar Ash-Shiddiq, kukatakan: “Jika engkau mau, aku nikahkan kamu dengan Hafshoh puteri Umar.” Abu Bakar diam saja, ia tidak menjawabku sama sekali. Beberapa waktu kemudian Abu Bakar menemuiku dan berkata: “Apakah kamu merasa ada sesuatu ketika kamu menawarkan Hafshoh kepadaku laku aku tidak menjawab sama sekali?” Kukatakan: “Ya,” Abu Bakar berkata: “Sungguh tidak ada sesuatupun yang mencegahku untuk memberikan jawaban kepadamu ketika kamu menawarkannya kepadaku kecuali karena aku tahu Rosululloh n telah menyebut nama Hafshoh. Tapi aku tidak mau menyebarkan rahasia Rosululloh n. Kalau saja Rosululloh n membiarkannya, tentu aku mau menikahinya.” (HR. Bukhori)

Lihatlah, bagaimana Fathimah puteri Rosululloh n –semoga Alloh meridhoinya—memberi kita contoh bagaimana sikap amanah dalam menjaga rahasia, seperti diriwayatkan oleh ibunda kaum Mukminin Aisyah s: “Pernah kami semua, isteri-isteri Nabi, berkumpul di tempat beliau, tidak ada seorang pun yang tidak hadir. Tiba-tiba datanglah Fathimah dengan berjalan, sungguh cara dia berjalan tidak berbeda sama sekali dengan cara jalan Rosululloh n. Begitu melihatnya, Rosululloh memberi sambutan: “Selamat datang puteriku.” Lalu beliau mempersilahkannya duduk di sebelah kanannya –atau dalam riwayat lain di sebelah kirinya—, kemudian beliau membisikkan sesuatu kepadanya dan tiba-tiba saja dia menangis tersedu-sedu. Ketika Rosululloh melihat ia bersedih, beliau kembali membisikkan sesuatu kepadanya, maka tiba-tiba saja dia tertawa. Kemudian aku berkata kepada Fathimah: “Aku adalah salah satu isteri Rosululloh, beliau membisikkan hal yang khusus kepadamu tanpa memberitahukannya kepada kami, lalu kamu menangis?!” Tatkala Rosululloh n pergi, aku bertanya kepada Fathimah tentang bisikan Rosululloh kepadanya, maka ia berkata: “Aku tidak akan menyebarkan rahasia Rosululloh n.” Maka ketika Rosululloh n wafat, aku berkata kepada Fathimah: “Engkau dulu bertekad untuk tidak memberitahukan sesuatu yang seharusnya menjadi hakku untuk mengetahuinya.” Fathimah berkata: “Adapun sekarang, ya (aku akan memberitahukannya).” Fathimah mulai bercerita kepadaku: “Adapun bisikan beliau yang pertama, beliau memberitahu bahwa Jibril q biasanya menyodorkan Al-Quran kepadaku satu tahun sekali, sedangkan tahun ini ia menyodorkannya kepadaku dua kali. Aku berfirasat ajalku sudah dekat, maka bertakwalah kamu kepada Alloh dan sabarlah. Sesungguhnya aku adalah sebaik-baik pendahulu bagimu. Maka aku pun menangis seperti yang engkau lihat. Tatkala beliau melihat kesedihanku, beliau membisikkan sesuatu lagi: “Wahai Fathimah, tidakkah engkau ridho menjadi pemuka dari isteri-isteri kaum Beriman atau pemuka wanita umat Islam?” (HR. Bukhori)

Syarat menjaga sebuah rahasia adalah tidak mengganggu hak Alloh Ta‘ala dan hak orang-orang Muslim. Jika syarat ini tidak terpenuhi, berarti itu pengkhianatan dari menjaga amanah. Sebagian orang ada yang berlebih-lebihan dan ada juga yang meremehkan. Yang benar adalah tidak meremehkan sehingga menghilangkan hak Alloh dan dakwah, tapi tidak juga berlebihan sehingga melenyapkan rasa persaudaraan.

Di kalangan Mujahidin belakangan ini mulai tersebar kebiasaan tidak menjaga rahasia, baik rahasia yang bersifat umum maupun khusus. Memperbincangkan rahasia tersebut kepada orang yang dekat atau orang yang jauh seolah telah menjadi hal biasa, padahal itu bisa membahayakan Mujahidin yang lain, keluarganya, orang yang pernah memberi tempat perlindungan dan menolong mereka.

Diriwayatkan dari Mu`adz bin Jabal ia berkata: Rosululloh n bersabda:

“Gunakanlah kerahasiaan untuk mempermudah pemenuhan kebutuhan kalian. Karena setiap orang yang mendapat nikmat itu didengki oleh orang.” (HR. Thobroni)

Kitman adalah: Mengekang dorongan-dorongan jiwa untuk mengungkapkan sesuatu yang diketahui, ini tidak bisa dilakukan selain dengan kesabaran.

Rahasia adalah: Semua yang kamu sembunyikan dalam dirimu demi menolak sebuah bahaya atau mencapai mashlahat, dan tidak ada seorang pun yang mengetahuinya, atau sesuatu yang engkau beritahukan secara khusus kepada orang tertentu, sementara orang lain tidak. Rahasia adalah sesuatu yang disembunyikan seseorang di dadanya, di dalam bahasa arab disebut sirr, jamaknya asroor, semakna dengan kata sariroh yang jamaknya saro’ir.

Dengan demikian, menyembunyikan rahasia (kitmanu `l-asror) adalah: Seseorang mengatur kata-katanya dalam menyampaikan apa yang ia sembunyikan, karena jika itu disampaikan atau dibuka sebelum waktunya, akan membahayakannya. Dengan kata lain, sabar untuk tidak menyampaikan perkataan yang tidak baik untuk disampaikan.

ROSUL n MENDIDIK PARA SHAHABATNYA UNTUK MENJAGA RAHASIA:

Rosul n mengerti benar pentingnya menjaga rahasia, maka dari itu beliau tidak menyampaikan rahasia tentang sebagian besar peperangan yang beliau lakukan, hatta kepada orang terdekat sekalipun, beliau tidak pernah menyampaikannya secara terbuka kepada siapapun selain dalam perang Tabuk, hal itu dikarenakan jaraknya yang jauh, besarnya kebutuhan logistik, dan sulitnya menyampaikan berita kepada penduduk Tabuk.

Sebelum perang Khondaq (perang Parit) terjadi, di mana kaum Musyrikin mengerahkan 10.000 pasukan –belum termasuk Yahudi— untuk menggempur Madinah, Nabi n sudah tahu niat musuh-musuhnya itu melalui “agen-agen Intelejent” beliau di Mekkah dan yang tinggal bersama kabilah-kabilah Arab. Maka kaum Muslimin menggali parit di sekitar Madinah, hal ini cukup mengagetkan kaum Musyrikin, sampai-sampai mereka mengatakan: “Sungguh, ini adalah taktik yang belum pernah dilakukan bangsa Arab.”

Peristiwa ini tidak hanya menunjukkan keberhasilan misi-misi intelejent Nabi n yang sudah mengetahui maksud musuh-musuhnya jauh-jauh hari, tetapi juga menunjukkan bahwa beliau sangat serius dalam menjaga rahasia. Tidak hanya itu, beliau mengajarkan kepada para shahabatnya untuk menjaga rahasia, penggalian parit ini bisa memakan waktu 20 hari, sebuah tempo waktu yang cukup bagi pasukan kafir Quraisy dan Yahudi untuk mendeteksi dan memberitahukannya kepada fihak lain.

Pelajaran lain tentang menjaga rahasia terdapat juga pada peristiwa ketika para sahabat menggempur perkampungan Bani Asad. Ketika itu Nabi n memerintahkan mereka untuk melakukan perjalanan di malam hari dan bersembunyi di siang hari, melalui jalan yang tak biasa dilalui orang. Tujuannya agar tidak ada siapa pun yang tahu informasi tentang mereka dan misi mereka. Dengan cara seperti ini, mereka berhasil mengejutkan Bani Asad di saat yang tidak mereka sangka-sangka sama sekali. Mereka juga mengambil ghonimah yang sangat banyak dari Bani Asad.

Masih ketika perang Ahzab, Nabi n merahasiakan masuk Islamnya Nu‘aim bin Mas‘ud dan beliau menyuruhnya untuk merahasiakannya, beliau berpesan: “Kamu adalah orang satu-satunya, maka adu dombalah musuh untuk memenangkan kami sebisamu. Karena perang itu adalah tipu daya.” Kemudian Nu‘aim a bergerak memecah belah pasukan sekutu dan menyebabkan hilangnya rasa saling percaya di antara mereka.

Bentuk tutup mulut beliau yang lain adalah: Jika beliau hendak berangkat ke suatu peperangan, beliau menyamarkan seolah-olah hendak menuju ke arah lain. Dalam peristiwa Perang Bani Lihyan misalnya, beliau menampakkan seolah-olah hendak pergi ke Syam, tapi setelah itu beliau berbelok arah ke selatan hingga akhirnya masyarakat Bani Lihyan terkejut dengan kedatangan beliau. Rosululloh n berdiam di Madinah pada bulan Dzulhijjah, Muharom, Shofar, Robiul Awal dan Robiuts Tsani, setelah itu di bulan Jumadal Ula –enam bulan sejak penaklukan Bani Quroidhoh—barulah beliau berangkat menyerang Bani Lihyan untuk mencari shahabat-shahabat beliau yang terbunuh dalam peristiwa Ar-Roji‘, yaitu Hubaib bin Adi dan kawan-kawannya g. Beliau menampakkan seolah-olah hendak pergi ke Syam, maksudnya agar beliau bisa menyerang Bani Lihyan ketika mereka lengah. Maka beliau berangkat dari Madinah dan menempuh jalur Ghurob –nama sebuah gunung di samping Madinah—yang mengarah ke Syam, lalu melewati Mahish, lalu Batro’, setelah itu beliau berbelok ke arah kiri yaitu melewati Bain –sebuah lembah dekat Madinah—lalu melewati bebatuan Yamam, kemudian berjalan lurus melalui Mahajjah yang merupakan jalur ke Mekkah, hingga akhirnya beliau sampai di Ghorron, perkampungan Bani Lihyan.

Akhi Mujahid…

Kewajibanmu adalah semaksimal mungkin menjaga rahasiamu dalam sebuah pertempuran. Karena –dengan izin Alloh—itu akan membuat urusanmu lancar, sekaligus mematahkan makar orang yang hendak mencelakaimu. Jaga lisanmu dari kata-kata ceplosan yang bisa menyingkap rahasia yang kau sembunyikan. Dan ketahuilah, kata-kata yang tak terkontrol terkadang bisa dijadikan tanda untuk mengetahui rahasia dan isi hati. Jangan anggap menampakkan rahasia itu sebagai sesuatu yang remeh, walaupun kepada anak kecil atau kepada orang yang tidak memahami bahasamu. Karena bisa jadi rahasia yang tadinya terjaga mereka sebarkan dan mereka ketahui.

Saya akhiri dengan kata-kata Komandan Mahmud Syeit Khothob tentang masalah kitman, beliau mengatakan: “Kerahasiaan (kitman) Nabi n dalam tujuan beliau –hingga terhadap orang terdekat—,kerahasiaan beliau tentang gerakannya, jumlah pasukannya, pengaturannya dan persenjataannya, itulah yang menghantarkan kepada kemenangan yang dekat.” . Wallahu a'lam

You Might Also Like

0 comments

Popular Posts

Like us on Facebook

Flickr Images

Subscribe