Anugerah

6:07:00 AM

Jam menunjukkan pukul sebelas malam. Aku cemas menunggu bapak tak kunjung pulang. Ibu dan adik-adikku sudah terlelap. Aku terkantuk-kantuk menunggu ketukan pintu.

“Kalah lagi, kalah lagi.” Ku dengar suara dari luar pintu. Masyaallah, bapak bermain judi lagi. Aku langsung berlari ke pintu, lalu kubuka pintunya. Iya memang benar itu bapakku. Tetapi aku masih bersyukur karena beliu tidak sampai minum minuman keras. Aku raih tangannya dan aku cium penuh takzim. Tapi aku tak menanyakan perihal darimanakah beliau.

“Bapak sudah makan?” tanyaku lembut pada beliau sambil menutup pintu.

“iya nduk, bapak belum makan. Ibumu masak apa?” kata beliau berjalan menuju tempat yang biasa untuk tidur bapak..

“Tadi ibu ndak sempat masak, pak. Ibu kelelahan seharian berjualan sayur. Jadi aku yang memasak dan mengurus keperluan adik. Aku masak tumis kangkung dengan lauk tempe goreng. Bapak mau?” jelasku perlahan.

“ Hmmm…enak ya pasti. Boleh nduk, oya buatkan kopi sekalian.” Jawab bapak sambil menyetel sebuah radio tua miliknya.

“Bapak, memang ndak ngantuk ya? Kok minumnya kopi? Teh hangat saja ya?” tanyaku pada beliau. Beliau sepertinya kelelahan. Bapak tak menjawab pertanyaanku itu. Aku menuju dapur mengambilkan makanan untuk bapak. Tak lupa ku buatkan teh, aku tak ingin beliau minum kopi.

Sejurus kemudian.

“Bapak, ini dimakan dulu. Ini tehnya.” Tuturku lembut pada beliau. Bapak tak banyak memprotes tentang masakanku yang entah bagaimana rasanya, juga tak memprotes tentang penggantian menu kopi menjadi teh. Bapak makan dengan lahap, aku setia menunggu disamping beliau. Berulang-kali aku menguap menahan kantuk, dan bapak tersenyum melihat itu.

“Memang kamu libur sekolah kah nduk, kok jam segini belum tidur? Besokkan kamu musti sekolah? Kamu juga harus bantu-bantu ibumu, mberesin kerjaan rumah, mengurus adik-adikmu.” Tanya bapak. Aku tersenyum mendengar pertanyaan-pertanyaan beliau. Dan aku menggelengkan kepala, tanda bahwa aku belum ingin tidur sekarang. Setelah bapak selesai, aku punguti piring dan gelas yang beliau pakai ke dapur, aku mencuci piring itu. Aku kembali ke ruangan tengah, tempat bapak biasa beristirahat.

“Bapak capek ndak? Sini saya pijit ya pak.” Tawarku pada beliau pelan. Aku tak ingin ibu terganggu dengan ini. Bapak mengangguk memberikan respon iya. Aku memijit bapak perlahan-lahan.

“Bapak besok ndak kerja?” tanyaku sangat halus pada beliau. Aku takut beliau agak tersinggung.

“Bapak belum dapat order dari mandor ataupun kontraktor.jadi sampai saat ini belum mendapatkan pekerjaan, nduk.” Jawab beliau. Aku menghela nafas panjang. Aku kasihan melihat ibu yang harus rela banting tulang untuk kami makan. Bapak hanya seorang tukang bangunan. Kerjanya masih serabutan, kadang bekerja, kadang tidak. Setiap hari, ibu harus pergi pagi-pagi untuk kepasar induk membeli sayur yang segar untuk dijual kembali. Dan akulah yang sebenarnya diberi tanggung jawab untuk mengurus rumah dan ke lima adikku. Tetapi aku sekolah di asrama perawat. Jadi aku hanya bias membantu ibu seminggu sekali ketika pulang. Berat sebenarnya, tetapi aku harus memanfaatkan beasiswa yang telah susah payah aku dapatkan untuk terus bersemangat menuntut ilmu. Ya, sejak SD dan SMP aku selalu berusaha meraih predikat terbaik disekolahan, dan Allah memang maha adil. Aku menjadi anak asuh dari lembaga yang membantu membiayai anak berprestasi yang kurang mampu disini, dan aku memilih pendidikan keperawatan atau biasa disebut SPK. Hidup dipinggiran kota Jakarta, huffh.

“Piye nduk sekolahmu?” Tanya bapak mengagetkanku. Aku tersenyum sambil terus memijit beliau.

“Alhamdulillah, nilainya masih bagus-bagus. Masih tetap bertahan, dan pastinya aku tak ingin posisiku diganti pak. Hehe.” Jawabku dan berakhiran dengan tawa bersama. Lalu bapak mengacak rambutku.

“Sudah nduk, sana kamu tidur. Besok kamu musti bangun pagi.” Kata bapak.

“Bapak yakin ndak mau dipijit lagi?” tanyaku sambil tersenyum. Beliau menggelengkan kepala. Aku berpamitan untuk tidur. Ku lihat jam dinding, jam menunjukkan pukul 00.15. aku menuju kamar.

-

“Papa yang egois. Papa nggak pernah sekalipun memikirkan kebahagiaan kami. Papa sibuk dengan perusahaan.” Kata Bunda terisak. Bunda sudah kehabisan tenaga untuk bertengkar rupanya. Sudah sering aku melihat ini. Sudah terlalu sering. Aku bosan, aku hanya menatap peristiwa itu dingin.

Pemandangan seperti ini yang selalu kulihat ketika pulang dari asrama perawat. Ku lihat Ayah yang terpaku beku. Bunda menangis terisak di sudut kamar. Aku pergi menuju kamar mandi. Rumah layaknya istana ini tak berarti apa-apa bagiku. Mobil bercecer dimanapun tak jua memperbaiki keadaan yang semakin parah ini. Hidup serasa hampa, hanya doa yang selalu menguatkanku dalam setiap ujian. Hidup berkecukupan tak selalu membahagiakan.

Pukul 12 malam lebih seperempat.

Aku pijak lantai keramik di teras samping yang berarsitektur ala perancis. Lampu-lampu yang memang sengaja ditata untuk memperindah tempat itu. Aku menyebutnya the inpiration of my life. Taman yang selalu mendamaikan hatiku ketika resah, taman yang selalu menyajikan keindahan yang natural. Ada gazebo bergaya Belanda di taman yang biasa menjadi teman ketika aku merasakan kehampaan, merasakan kesunyian.

Dikala pagi datang menjelang, sayup-sayup suara muadzin yang terdengar sangat merdu terkadang hanya aku yang bisa merasakan keindahan nada-nadanya. Sungguh sesuatu yang sangat ironis. Tetapi aku menyayangi mereka ya Allah, apapun keadaannya. Setelah mengambil air wudhu, aku bermunajat pada Rabbul izzati,menumpahkan segala keluh kesahku, duka laraku. Terkadang jika aku menangis tanpa mengeluarkan air mata karena saking seringnya menangis dan air mata telah habis menangisi keadaan ini.

Ku lantunkan nada-nada tilawah yang selama ini aku pelajari ketika aku ta’lim diasrama. Berharap bisa menjadi setetes embun yang menyejukkan hati yang gersang ini. Berharap bisa menjadi lilin-lilin kecil yang mencoba menarangi hati meskipun dengn cahaya yang sangat terbatas. Selalu menangis dikeheningan malam. Aku tak bertanya mengapa seperti ini. Aku tahu semua telah ditakdirkan dan sudah tertulis, hanya saja aku berharap diberi jalan keluar yang terbaik, jalan keluar yang tidak menyakiti siapapun. Ya hanya itu.

xXx

Ash-shalaatu khoirum minannauum.

Suara adzan dari musholla tempatku tinggal membangunkanku. Ini bukan adzan subuh, tetapi adzan shalat qiyamullail. Aku bangun perlahan, aku tak ingin membangunkan adik-adikku. Ibu juga sudah bangun rupanya. terlihat ibu masih dalam sujud panjangnya. Sedang bapak masih tidur terlelap, mungkin karena masih kecapekan. Tak terasa aku meneteskan air mata melihat keadaan ini. Aku menuju ke kamar mandi. Aku mengambil wudhu dan bersiap untuk shalat.

Aku tunduk dalam doaku. Aku selalu menitikkan air mata ketika aku bermunajat kepada-Nya. Karena aku tak pernah mengeluh dengan keadaan ini pada siapapun, kecuali hanya pada-Nya. Ku akhiri doaku dengan doa kebaikan dunia dan akhirat.

Aku mulai memasak air, menanak nasi. ‘Masyaallah, berasnya tinggal sedikit sekali.’pekikku dalam hati. Hanya cukup untuk bersarapan. Bersarapan pun, mungkin hanya cukup untuk beberapa orang saja. Sayur kangkung juga tinggal sedikit, juga tempe goreng yang hanya tinggal dua potong. Aku harus rela berpuasa hari ini.

“Nduk, ibu mau berangkat dulu ya.” Pamit ibuku, kulihat jam masih menunjukkan pukul 03.30. aku mencium tangan beliau penuh takzim.

“Hati-hati ya bu.” Pesanku pada beliau. Ibu tersenyum menatapku. Aku melanjutkan pekerjaanku.

Adzan kembali terdengar dari musholla, tapi kali ini adalah adzan subuh. Aku hampir selesai. Untuk bersih-bersih rumah, aku menundanya sampai ba’da subuh saja. Aku mulai membangunkan adik-adikku untuk segera mengambil air wudhu dan menunaikan shalat subuh.

“Latifah, Fatimah, Maryam, Rahma, ayo bangun. Shalat dulu sayang. Sudah subuh lho, ayo. Kalau nggak mau bangun, nanti digelitikin semua ya.” Kataku membangunkan mereka semua. Adikku yang paling kecil menangis, namanya Usamah. Dialah satu-satunya anak laki-laki dikeluarga kami. Umurnya belum genap satu tahun. Aku menghampirinya dan segera menggendongnya agar tidak lagi menangis.

Latifah sudah bangun, dia membantuku membangunkan yang lain. Latifah masih duduk di bangku sekolah dasar kelas enam. Tetapi ia sudah milai mengerti tentang kondisi ini. Latifah lahir setelahku. Aku punya adik kembar, ialah Fatimah dan Maryam. Mereka berdua masih duduk dibangku sekolah dasar kelas empat. Dan Rahma, ia belum genap berumur enam tahun, namun ia sudah bersekolah. Sedang aku bersekolah di jurusan keperawatan, baru kelas satu.

“Mbak Ais, dimana mukenanya?” Tanya Fatimah sambil mengelap bekas air wudhu di wajah beningnya. Aku tersenyum sambil menunjuk mukena diatas meja.

“Mbak Ais sudah shalat?” Tanya adikku, Latifah sambil mengenakan mukena dan sarung. Aku mengangguk menjawab pertanyaannya sambil membuatkan tajen¹ untuk Usamah. Kutatap Usamah, pipinya semakin membulat merah bak apel dan ia terlihat sangat menggemaskan. Lipatan pahanya juga semakin jelas terlihat. Ia menggeliat manja sambil tersenyum menatapku. Subhanallah, bahkan senyum itu bisa membuat preman pasar minggu yang terkenal bengis menjadi tenang. Senyuman itu bagai obat kala aku meratapi semua keadaan ini. Ya, senyuman Usamah yang selalu membuat ibu tegar menghadapi segala macam cobaan. Lesung pipinya makin jelas terlihat karena makin dalam. Rabbi, jadikan ia sebagai anak yang sholeh yang bisa menjadi imam kelak. Aku mengecup keningnya. Kulit yang lembut meski tak pernah diberi perawatan yang mahal. Entah mengapa setiap mencium Usamah tubuhnya selalu wangi, padahal kami tak pernah memberinya wewangian.

Ada yang memeluk leherku dari belakang. Aku menoleh. Rahma, adikku yang belum genap berumur enam tahun sudah terlihat rapi dengan seragam merah-putihnya. Jilbab putihnya yang mungil membungkus wajah polosnya. Rahma mencium Usamah lembut.

“Mbak, Usamah wangi sekali. Usamah pakai wangi-wangi ya?” Tanya Rahma penasaran. Subhanallah, wajah polosnya menampakkan kejujuran. Ia terlihat sangat lucu. Terima kasih ya Allah. Anugerah yang indah meski terbatas dengan ketiadaan materi. Aku tersenyum lembut menatap Rahma adikku.

“Sudah sarapan sayang?” tanyaku halus. Ia menggeleng. Aku mengernyitkan dahi.

“Kenapa belum sarapan sayang? Masakannya ndak enak kah?” tanyaku penasaran. Ia menggeleng polos.

“Mbak Latifah, mbak Fatimah sama mbak Maryam sedang ber-shu-am katanya. Aku juga ikut ber-shu-am.” Jawabnya polos menirukan kata-kata kakaknya tentang istilah shaum, ia salah mengeja. Sekali lagi aku tersenyum, melihat kepolosan Rahma. Aku menggeleng, ia belum kuat. Apalagi hari ini Senin, ia harus berpanas-panasan, harus rela berupacara.

“Sayang, besok kalau Rahma sudah kuat bershaum kita shaum bareng-bareng. Tapi kan hari ini Rahma harus upacara, nanti ndak kuat. Mbak Ais ndak mau Rahma sakit lho.” Aku memberi gambaran yang sederhana agar Rahma cepat bisa memahami. Ia tersenyum dan berlari mengambil sarapan.

-

Burung gereja melengking nyaring. Aneh, tak biasanya burung bercericit sepagi ini. Jam masih menunjukkan pukul 05.00 pagi. Setelah subuh aku biasa berjalan-jalan di sekitar perkebunan buah milik ayahku yang letaknya bersebelahan dengan rumah kami. Rumah kami berada di daerah pegunungan sehingga lahannya sangat cocok untuk perkebunan.

*to be continued*

You Might Also Like

0 comments

Popular Posts

Like us on Facebook

Flickr Images

Subscribe