Penyesalan

10:52:00 PM

sebuah kisah nyata yang penuh
inspiratif, moga bermanfaat..
Semoga peristiwa di bawah ini
membuat kita belajar bersyukur
untuk apa yang kita miliki :
Aku membencinya, itulah yang
selalu kubisikkan dalam hatiku
hampir sepanjang kebersamaan
kami. Meskipun menikahinya, aku
tak pernah benar-benar
menyerahkan hatiku padanya.
Menikah karena paksaan orangtua,
membuatku membenci suamiku
sendiri.
Walaupun menikah terpaksa, aku
tak pernah menunjukkan sikap
benciku. Meskipun membencinya,
setiap hari aku melayaninya
sebagaimana tugas istri. Aku
terpaksa melakukan semuanya
karena aku tak punya pegangan
lain. Beberapa kali muncul keinginan
meninggalkannya tapi aku tak
punya kemampuan finansial dan
dukungan siapapun. Kedua
orangtuaku sangat menyayangi
suamiku karena menurut mereka,
suamiku adalah sosok suami
sempurna untuk putri satu-satunya
mereka.
Ketika menikah, aku menjadi istri
yang teramat manja. Kulakukan
segala hal sesuka hatiku. Suamiku
juga memanjakanku sedemikian
rupa. Aku tak pernah benar-benar
menjalani tugasku sebagai seorang
istri. Aku selalu bergantung
padanya karena aku menganggap
hal itu sudah seharusnya setelah
apa yang ia lakukan padaku. Aku
telah menyerahkan hidupku
padanya sehingga tugasnyalah
membuatku bahagia dengan
menuruti semua keinginanku.
Di rumah kami, akulah ratunya. Tak
ada seorangpun yang berani
melawan. Jika ada sedikit saja
masalah, aku selalu menyalahkan
suamiku. Aku tak suka handuknya
yang basah yang diletakkan di
tempat tidur, aku sebal melihat ia
meletakkan sendok sisa mengaduk
susu di atas meja dan
meninggalkan bekas lengket, aku
benci ketika ia memakai komputerku
meskipun hanya untuk
menyelesaikan pekerjaannya. Aku
marah kalau ia menggantung
bajunya di kapstock bajuku, aku
juga marah kalau ia memakai pasta
gigi tanpa memencetnya dengan
rapi, aku marah kalau ia
menghubungiku hingga berkali-kali
ketika aku sedang bersenang-
senang dengan teman-temanku.
Tadinya aku memilih untuk tidak
punya anak. Meskipun tidak
bekerja, tapi aku tak mau mengurus
anak. Awalnya dia mendukung dan
akupun ber-KB dengan pil. Tapi
rupanya ia menyembunyikan
keinginannya begitu dalam sampai
suatu hari aku lupa minum pil KB
dan meskipun ia tahu ia
membiarkannya. Akupun hamil dan
baru menyadarinya setelah lebih
dari empat bulan, dokterpun
menolak menggugurkannya.
Itulah kemarahanku terbesar
padanya. Kemarahan semakin
bertambah ketika aku mengandung
sepasang anak kembar dan harus
mengalami kelahiran yang sulit. Aku
memaksanya melakukan tindakan
vasektomi agar aku tidak hamil lagi.
Dengan patuh ia melakukan semua
keinginanku karena aku
mengancam akan meninggalkannya
bersama kedua anak kami.
Waktu berlalu hingga anak-anak tak
terasa berulang tahun yang ke-
delapan. Seperti pagi-pagi
sebelumnya, aku bangun paling
akhir. Suami dan anak-anak sudah
menungguku di meja makan. Seperti
biasa, dialah yang menyediakan
sarapan pagi dan mengantar anak-
anak ke sekolah. Hari itu, ia
mengingatkan kalau hari itu ada
peringatan ulang tahun ibuku. Aku
hanya menjawab dengan anggukan
tanpa mempedulikan kata-katanya
yang mengingatkan peristiwa tahun
sebelumnya, saat itu aku memilih ke
mal dan tidak hadir di acara ibu.
Yaah, karena merasa terjebak
dengan perkawinanku, aku juga
membenci kedua orangtuaku.
Sebelum ke kantor, biasanya
suamiku mencium pipiku saja dan
diikuti anak-anak. Tetapi hari itu, ia
juga memelukku sehingga anak-
anak menggoda ayahnya dengan
ribut. Aku berusaha mengelak dan
melepaskan pelukannya. Meskipun
akhirnya ikut tersenyum bersama
anak-anak. Ia kembali mencium
hingga beberapa kali di depan
pintu, seakan-akan berat untuk
pergi.
Ketika mereka pergi, akupun
memutuskan untuk ke salon.
Menghabiskan waktu ke salon
adalah hobiku. Aku tiba di salon
langgananku beberapa jam
kemudian. Di salon aku bertemu
salah satu temanku sekaligus orang
yang tidak kusukai. Kami mengobrol
dengan asyik termasuk saling
memamerkan kegiatan kami. Tiba
waktunya aku harus membayar
tagihan salon, namun betapa
terkejutnya aku ketika menyadari
bahwa dompetku tertinggal di
rumah. Meskipun merogoh tasku
hingga bagian terdalam aku tak
menemukannya di dalam tas.
Sambil berusaha mengingat-ingat
apa yang terjadi hingga dompetku
tak bisa kutemukan aku menelepon
suamiku dan bertanya.
“Maaf sayang, kemarin Farhan
meminta uang jajan dan aku tak
punya uang kecil maka kuambil dari
dompetmu. Aku lupa menaruhnya
kembali ke tasmu, kalau tidak salah
aku letakkan di atas meja kerjaku.”
Katanya menjelaskan dengan
lembut.
Dengan marah, aku mengomelinya
dengan kasar. Kututup telepon
tanpa menunggunya selesai bicara.
Tak lama kemudian, handphoneku
kembali berbunyi dan meski masih
kesal, akupun mengangkatnya
dengan setengah membentak.
“Apalagi??”
“Sayang, aku pulang sekarang, aku
akan ambil dompet dan
mengantarnya padamu. Sayang
sekarang ada dimana?” tanya
suamiku cepat , kuatir aku menutup
telepon kembali. Aku menyebut
nama salonku dan tanpa menunggu
jawabannya lagi, aku kembali
menutup telepon. Aku berbicara
dengan kasir dan mengatakan
bahwa suamiku akan datang
membayarkan tagihanku. Si
empunya Salon yang sahabatku
sebenarnya sudah membolehkanku
pergi dan mengatakan aku bisa
membayarnya nanti kalau aku
kembali lagi. Tapi rasa malu karena
“musuh”ku juga ikut mendengarku
ketinggalan dompet membuatku
gengsi untuk berhutang dulu.
Hujan turun ketika aku melihat
keluar dan berharap mobil suamiku
segera sampai. Menit berlalu
menjadi jam, aku semakin tidak
sabar sehingga mulai menghubungi
handphone suamiku. Tak ada
jawaban meskipun sudah berkali-
kali kutelepon. Padahal biasanya
hanya dua kali berdering teleponku
sudah diangkatnya. Aku mulai
merasa tidak enak dan marah.
Teleponku diangkat setelah
beberapa kali mencoba. Ketika
suara bentakanku belum lagi keluar,
terdengar suara asing menjawab
telepon suamiku. Aku terdiam
beberapa saat sebelum suara lelaki
asing itu memperkenalkan diri,
“selamat siang, ibu. Apakah ibu istri
dari bapak armandi?” kujawab
pertanyaan itu segera. Lelaki asing
itu ternyata seorang polisi, ia
memberitahu bahwa suamiku
mengalami kecelakaan dan saat ini
ia sedang dibawa ke rumah sakit
kepolisian. Saat itu aku hanya
terdiam dan hanya menjawab
terima kasih. Ketika telepon ditutup,
aku berjongkok dengan bingung.
Tanganku menggenggam erat
handphone yang kupegang dan
beberapa pegawai salon
mendekatiku dengan sigap
bertanya ada apa hingga wajahku
menjadi pucat seputih kertas.
Entah bagaimana akhirnya aku
sampai di rumah sakit. Entah
bagaimana juga tahu-tahu seluruh
keluarga hadir di sana menyusulku.
Aku yang hanya diam seribu
bahasa menunggu suamiku di
depan ruang gawat darurat. Aku
tak tahu harus melakukan apa
karena selama ini dialah yang
melakukan segalanya untukku.
Ketika akhirnya setelah menunggu
beberapa jam, tepat ketika
kumandang adzan maghrib
terdengar seorang dokter keluar
dan menyampaikan berita itu.
Suamiku telah tiada. Ia pergi bukan
karena kecelakaan itu sendiri,
serangan stroke-lah yang
menyebabkan kematiannya. Selesai
mendengar kenyataan itu, aku
malah sibuk menguatkan kedua
orangtuaku dan orangtuanya yang
shock. Sama sekali tak ada airmata
setetespun keluar di kedua mataku.
Aku sibuk menenangkan ayah ibu
dan mertuaku. Anak-anak yang
terpukul memelukku dengan erat
tetapi kesedihan mereka sama
sekali tak mampu membuatku
menangis.
Ketika jenazah dibawa ke rumah
dan aku duduk di hadapannya, aku
termangu menatap wajah itu.
Kusadari baru kali inilah aku benar-
benar menatap wajahnya yang
tampak tertidur pulas. Kudekati
wajahnya dan kupandangi dengan
seksama. Saat itulah dadaku
menjadi sesak teringat apa yang
telah ia berikan padaku selama
sepuluh tahun kebersamaan kami.
Kusentuh perlahan wajahnya yang
telah dingin dan kusadari inilah kali
pertama kali aku menyentuh
wajahnya yang dulu selalu dihiasi
senyum hangat. Airmata merebak
dimataku, mengaburkan
pandanganku. Aku terkesiap
berusaha mengusap agar airmata
tak menghalangi tatapan terakhirku
padanya, aku ingin mengingat
semua bagian wajahnya agar
kenangan manis tentang suamiku
tak berakhir begitu saja. Tapi
bukannya berhenti, airmataku
semakin deras membanjiri kedua
pipiku. Peringatan dari imam mesjid
yang mengatur prosesi pemakaman
tidak mampu membuatku berhenti
menangis. Aku berusaha
menahannya, tapi dadaku sesak
mengingat apa yang telah
kuperbuat padanya terakhir kali
kami berbicara.
Aku teringat betapa aku tak pernah
memperhatikan kesehatannya. Aku
hampir tak pernah mengatur
makannya. Padahal ia selalu
mengatur apa yang kumakan. Ia
memperhatikan vitamin dan obat
yang harus kukonsumsi terutama
ketika mengandung dan setelah
melahirkan. Ia tak pernah absen
mengingatkanku makan teratur,
bahkan terkadang menyuapiku
kalau aku sedang malas makan.
Aku tak pernah tahu apa yang ia
makan karena aku tak pernah
bertanya. Bahkan aku tak tahu apa
yang ia sukai dan tidak disukai.
Hampir seluruh keluarga tahu
bahwa suamiku adalah penggemar
mie instant dan kopi kental. Dadaku
sesak mendengarnya, karena aku
tahu ia mungkin terpaksa makan
mie instant karena aku hampir tak
pernah memasak untuknya. Aku
hanya memasak untuk anak-anak
dan diriku sendiri. Aku tak perduli
dia sudah makan atau belum ketika
pulang kerja. Ia bisa makan
masakanku hanya kalau bersisa.
Iapun pulang larut malam setiap
hari karena dari kantor cukup jauh
dari rumah. Aku tak pernah mau
menanggapi permintaannya untuk
pindah lebih dekat ke kantornya
karena tak mau jauh-jauh dari
tempat tinggal teman-temanku.
Saat pemakaman, aku tak mampu
menahan diri lagi. Aku pingsan
ketika melihat tubuhnya hilang
bersamaan onggokan tanah yang
menimbun. Aku tak tahu apapun
sampai terbangun di tempat tidur
besarku. Aku terbangun dengan
rasa sesal memenuhi rongga
dadaku. Keluarga besarku
membujukku dengan sia-sia karena
mereka tak pernah tahu mengapa
aku begitu terluka kehilangan
dirinya.
Hari-hari yang kujalani setelah
kepergiannya bukanlah kebebasan
seperti yang selama ini kuinginkan
tetapi aku malah terjebak di dalam
keinginan untuk bersamanya. Di
hari-hari awal kepergiannya, aku
duduk termangu memandangi piring
kosong. Ayah, Ibu dan ibu mertuaku
membujukku makan. Tetapi yang
kuingat hanyalah saat suamiku
membujukku makan kalau aku
sedang mengambek dulu. Ketika
aku lupa membawa handuk saat
mandi, aku berteriak memanggilnya
seperti biasa dan ketika malah
ibuku yang datang, aku berjongkok
menangis di dalam kamar mandi
berharap ia yang datang.
Kebiasaanku yang meneleponnya
setiap kali aku tidak bisa melakukan
sesuatu di rumah, membuat teman
kerjanya kebingungan menjawab
teleponku. Setiap malam aku
menunggunya di kamar tidur dan
berharap esok pagi aku terbangun
dengan sosoknya di sebelahku.
Dulu aku begitu kesal kalau tidur
mendengar suara dengkurannya,
tapi sekarang aku bahkan sering
terbangun karena rindu
mendengarnya kembali. Dulu aku
kesal karena ia sering berantakan
di kamar tidur kami, tetapi kini aku
merasa kamar tidur kami terasa
kosong dan hampa. Dulu aku begitu
kesal jika ia melakukan pekerjaan
dan meninggalkannya di laptopku
tanpa me-log out, sekarang aku
memandangi komputer, mengusap
tuts-tutsnya berharap bekas jari-
jarinya masih tertinggal di sana.
Dulu aku paling tidak suka ia
membuat kopi tanpa alas piring di
meja, sekarang bekasnya yang
tersisa di sarapan pagi
terakhirnyapun tidak mau kuhapus.
Remote televisi yang biasa
disembunyikannya, sekarang
dengan mudah kutemukan meski
aku berharap bisa mengganti
kehilangannya dengan kehilangan
remote. Semua kebodohan itu
kulakukan karena aku baru
menyadari bahwa dia mencintaiku
dan aku sudah terkena panah
cintanya.
Aku juga marah pada diriku sendiri,
aku marah karena semua kelihatan
normal meskipun ia sudah tidak
ada. Aku marah karena baju-
bajunya masih di sana
meninggalkan baunya yang
membuatku rindu. Aku marah
karena tak bisa menghentikan
semua penyesalanku. Aku marah
karena tak ada lagi yang
membujukku agar tenang, tak ada
lagi yang mengingatkanku sholat
meskipun kini kulakukan dengan
ikhlas. Aku sholat karena aku ingin
meminta maaf, meminta maaf pada
Allah karena menyia-nyiakan suami
yang dianugerahi padaku, meminta
ampun karena telah menjadi istri
yang tidak baik pada suami yang
begitu sempurna. Sholatlah yang
mampu menghapus dukaku sedikit
demi sedikit. Cinta Allah padaku
ditunjukkannya dengan begitu
banyak perhatian dari keluarga
untukku dan anak-anak. Teman-
temanku yang selama ini kubela-
belain, hampir tak pernah
menunjukkan batang hidung mereka
setelah kepergian suamiku.
Empat puluh hari setelah
kematiannya, keluarga
mengingatkanku untuk bangkit dari
keterpurukan. Ada dua anak yang
menungguku dan harus kuhidupi.
Kembali rasa bingung merasukiku.
Selama ini aku tahu beres dan tak
pernah bekerja. Semua dilakukan
suamiku. Berapa besar
pendapatannya selama ini aku tak
pernah peduli, yang kupedulikan
hanya jumlah rupiah yang ia
transfer ke rekeningku untuk
kupakai untuk keperluan pribadi
dan setiap bulan uang itu hampir
tak pernah bersisa. Dari kantor
tempatnya bekerja, aku
memperoleh gaji terakhir beserta
kompensasi bonusnya. Ketika
melihatnya aku terdiam tak
menyangka, ternyata seluruh
gajinya ditransfer ke rekeningku
selama ini. Padahal aku tak pernah
sedikitpun menggunakan untuk
keperluan rumah tangga. Entah
darimana ia memperoleh uang lain
untuk memenuhi kebutuhan rumah
tangga karena aku tak pernah
bertanya sekalipun soal itu.Yang
aku tahu sekarang aku harus
bekerja atau anak-anakku takkan
bisa hidup karena jumlah gaji
terakhir dan kompensasi bonusnya
takkan cukup untuk menghidupi
kami bertiga. Tapi bekerja di mana?
Aku hampir tak pernah punya
pengalaman sama sekali. Semuanya
selalu diatur oleh dia.
Kebingunganku terjawab beberapa
waktu kemudian. Ayahku datang
bersama seorang notaris. Ia
membawa banyak sekali dokumen.
Lalu notaris memberikan sebuah
surat. Surat pernyataan suami
bahwa ia mewariskan seluruh
kekayaannya padaku dan anak-
anak, ia menyertai ibunya dalam
surat tersebut tapi yang
membuatku tak mampu berkata
apapun adalah isi suratnya
untukku.
Istriku Liliana tersayang,
Maaf karena harus
meninggalkanmu terlebih dahulu,
sayang. maaf karena harus
membuatmu bertanggung jawab
mengurus segalanya sendiri. Maaf
karena aku tak bisa memberimu
cinta dan kasih sayang lagi. Allah
memberiku waktu yang terlalu
singkat karena mencintaimu dan
anak-anak adalah hal terbaik yang
pernah kulakukan untukmu.
Seandainya aku bisa, aku ingin
mendampingi sayang selamanya.
Tetapi aku tak mau kalian
kehilangan kasih sayangku begitu
saja. Selama ini aku telah
menabung sedikit demi sedikit
untuk kehidupan kalian nanti. Aku
tak ingin sayang susah setelah aku
pergi. Tak banyak yang bisa
kuberikan tetapi aku berharap
sayang bisa memanfaatkannya
untuk membesarkan dan mendidik
anak-anak. Lakukan yang terbaik
untuk mereka, ya sayang.
Jangan menangis, sayangku yang
manja. Lakukan banyak hal untuk
membuat hidupmu yang terbuang
percuma selama ini. Aku memberi
kebebasan padamu untuk
mewujudkan mimpi-mimpi yang tak
sempat kau lakukan selama ini.
Maafkan kalau aku
menyusahkanmu dan semoga
Tuhan memberimu jodoh yang lebih
baik dariku.
Teruntuk Farah, putri tercintaku.
Maafkan karena ayah tak bisa
mendampingimu. Jadilah istri yang
baik seperti Ibu dan Farhan, ksatria
pelindungku. Jagalah Ibu dan Farah.
Jangan jadi anak yang bandel lagi
dan selalu ingat dimanapun kalian
berada, ayah akan disana
melihatnya. Oke, Buddy!
Aku terisak membaca surat itu, ada
gambar kartun dengan kacamata
yang diberi lidah menjulur khas
suamiku kalau ia mengirimkan note.
Notaris memberitahu bahwa selama
ini suamiku memiliki beberapa
asuransi dan tabungan deposito
dari hasil warisan ayah
kandungnya. Suamiku membuat
beberapa usaha dari hasil deposito
tabungan tersebut dan usaha
tersebut cukup berhasil meskipun
dimanajerin oleh orang-orang
kepercayaannya. Aku hanya bisa
menangis terharu mengetahui
betapa besar cintanya pada kami,
sehingga ketika ajal menjemputnya
ia tetap membanjiri kami dengan
cinta.
Aku tak pernah berpikir untuk
menikah lagi. Banyaknya lelaki yang
hadir tak mampu menghapus
sosoknya yang masih begitu hidup
di dalam hatiku. Hari demi hari
hanya kuabdikan untuk anak-
anakku. Ketika orangtuaku dan
mertuaku pergi satu persatu
meninggalkanku selaman-lamanya,
tak satupun meninggalkan
kesedihan sedalam kesedihanku
saat suamiku pergi.
Kini kedua putra putriku berusia
duapuluh tiga tahun. Dua hari lagi
putriku menikahi seorang pemuda
dari tanah seberang. Putri kami
bertanya, “Ibu, aku harus
bagaimana nanti setelah menjadi
istri, soalnya Farah kan ga bisa
masak, ga bisa nyuci, gimana ya
bu?”
Aku merangkulnya sambil berkata
“Cinta sayang, cintailah suamimu,
cintailah pilihan hatimu, cintailah
apa yang ia miliki dan kau akan
mendapatkan segalanya. Karena
cinta, kau akan belajar
menyenangkan hatinya, akan
belajar menerima kekurangannya,
akan belajar bahwa sebesar
apapun persoalan, kalian akan
menyelesaikannya atas nama
cinta.”
Putriku menatapku, “seperti cinta
ibu untuk ayah? Cinta itukah yang
membuat ibu tetap setia pada ayah
sampai sekarang?”
Aku menggeleng, “bukan, sayangku.
Cintailah suamimu seperti ayah
mencintai ibu dulu, seperti ayah
mencintai kalian berdua. Ibu setia
pada ayah karena cinta ayah yang
begitu besar pada ibu dan kalian
berdua.”
Aku mungkin tak beruntung karena
tak sempat menunjukkan cintaku
pada suamiku. Aku menghabiskan
sepuluh tahun untuk membencinya,
tetapi menghabiskan hampir
sepanjang sisa hidupku untuk
mencintainya. Aku bebas darinya
karena kematian, tapi aku tak
pernah bisa bebas dari cintanya
yang begitu tulus.

You Might Also Like

0 comments

Popular Posts

Like us on Facebook

Flickr Images

Subscribe