Sebuah Hidayah

9:01:00 PM

Terik matahari mulai membuat pori-poriku mengeluarkan bulir-bulir keringat yang banyak. Siang ini, panas membakar bumi dengan sangat. Bahkan rambutku basah karena keringat yang terus mengucur deras. Rasanya seperti dioven saja. Padahal, aku harus menunggu ayah menjemput setengah jam lagi. Beruntung, aku membawa buku “HARRY POTTER” sehingga aku tak bosan menunggu ayah. Ayah belum mengijinkanku mengendarai Honda jazz hadiah ulang tahunku kemarin. Aku belum cukup umur untuk meminta SIM. Perkenalkan, namaku Lily. Umurku belum genap 16 tahun. Aku sekolah di sebuah SMA swasta di Solo. Aku kelas tiga, ayah memasukkanku ke kelas ekselerasi, jadi aku loncat kelas. Otakku lumayan encer untuk pelajaran.

Aku kembali menekuri tulisan-tulisan buku best sellerku sambil ku nikmati segelas teh botol.

Tin…tin…tin…

Suara klakson mobil membuyarkan konsentrasi membacaku. Setelah sebelumnya aku membayar the botol, segera kuhampiri ayah. Aku lelah sejak tadi menunggu. Aku berlari, setelah masuk mobil kurasakan sejuknya udara dari AC mobil ayah. Ayah menyodorkan sebotol air mineral dingin padaku. Rupanya beliau mengetahui keadaan panas hari ini.

“No, thanks, dad. I drunk a glass of tea before.” Kataku menolak air mineral ayah. Beliau hanya tersenyum melihatku. Aku sudah terbiasa berbicara sesuatu pada ayah dengan bahasa inggris. Awalnya beliau yang melatihku begitu sejak kecil, jadilah aku terbiasa menggunakan percakapan bahasa inggris. Namun percakapanku hanyalah bahasa inggris pasaran, terkadang tidak sesuai dengan kaidah yang benar. Terlalu lama, jika harus berpacu pada kaidah yang benar.

“I found a guest on your table this morning. I read it. Karang Taruna summon you to join with them, this night girl. I hope you can join with them well.” Jelas ayahku.

“I don’t know, dad. Can I join with them this night. Because I have many home work from scholl. And I also have tutorials schedule. But I’ll endeavour to join with them dad.” Terangku singkat. Beliau mengacak rambutku.

“I don’t like it, dad. May be, Daddy can lost the habbit.” Gerutuku pada beliau. Aku tak suka beliau mengacak-acak rambutku meskipun itu tanda sayangnya padaku. Beliau hanya tersenyum ringan.

xXx

Papilio blumei, kupu-kupu tropis yang menawan bergaris biru-hijau itu menghinggapi bunga melati kesayangan ayah. Aneh, malam-malam begini masih ada kupu-kupu yang berkeliaran. Kemudian menyusul lagi kupu-kupu yang bergaris coklat dan berhias bintik-bintik kuning terbang disekitar bunga Lilyku. Aku menyukai bunga, terlebih lagi Lily. pemandangan yang harmonis. Mereka terbang riang hinggap di dahan pohon fillicum ayah. Sungguh pemandangan yang menakjubkan. Aku sangat suka kupu-kupu, tetapi aku tak berani menyentuhnya. Mereka terlalu rapuh untuk disentuh, alasan yang membuatku tak pernah menyentuh mereka adalah karena aku takut ulat bahkan phobia pada ulat. Terkadang aku sampai panas-dingin jika melihat ulat, padahal hanya melihat.

Anak-anak karang taruna sudah mulai berdatangan. Rupanya, ayah sengaja mengundang mereka untuk rapat disini. Mungkin ayah memang benar-benar mengharapkanku untuk bergabung dengan organisasi pemuda desa ini.

Bunda dan Bi Atik telah menyiapkan segala jamuan makanan untuk mereka. Ada beberapa dari mereka membantu menyiapkan jamuan makanan di dapur. Ada juga yang membantu membawakan nampan untuk para pemuda-pemudi.

“Mari duduk, Lily.” Sapa salah seorang pengurus Karang Taruna membuatku kaget. Aku masih kaku dalam organisasi. Baru kali ini aku mengikuti organisasi, itupun karena ayah. Aku menatap ayah disudut pintu, beliau tetap menyunggingkan sebuah senyuman indah diwajah bijaksananya. Ah, ayah. Aku duduk disebelah teman TK-ku dulu, namanya Sari. aku tak mengenali mereka sama sekali hanya teman TK-ku saja yang benar-benar dekat denganku dulu, tetapi karena kami jarang bertemu jadilah kami asing. Namun, ia masih mengingatku saja.

“Neng Lily jarang keluar ya. Lama sekali saya tak melihat neng keluar rumah untuk bermain. Oya, tadi yang menyapamu itu ketua Karang Taruna, namanya mas Arif.” Sapa Sari memecah kekakuanku. Aku hanya merespon dengan mimic datar. Dan aku hanya mengangguk mendengarkan penjelasannya. Tak berapa lama, rapat pun dimulai. Meskipun aku tak pernah ikut organisasi aku tetap berani mengungkapkan ide atau pendapatku yang sekiranya dapat menyempurnakan pendapat teman-teman yang lain. Mereka memperhatikan setiap kata yang meluncur dariku. Aku menjelaskan tanpa ada pemaksaan siapapun untuk menerima pendapatku begitu saja, bahkan aku juga meminta saran mereka untuk meyempurnakannya. Tetapi mereka tetap menganggap pendapatku yang paling menyeluruh dan sempurna. Aku menatap semuanya, ada tatap kagum, tatapan tak percaya ada juga yang mengucapkan excelent hingga beberapa kali. Namun ada tatap yang aneh, tatap dari ketua Karang Taruna. Aku tak menganggapnya serius. Mungkin hanya tak percaya padaku, seseorang yang tak pernah berorganisasi mampu menyampaikan pendapat-pendapatnya dengan baik dan dapat diterima siapapun.

Jangan salah sangka, meskipun aku tak pernah berorganisasi namun aku sering melakukan diskusi-diskusi atau debat-debat tentang permasalahan yang sedang panas diperbincangkan disekolahku bersama teman-temanku. Apabila aku tak bisa menyampaikan ide-ideku maka nilai praktikumku dapat C. dan parahnya teman-teman menjadikan orang yang tak mampu menyampaikan idenya sebagai bulan-bulanan. Ternyata organisasi tak jauh berbeda dengan berhubungan dengan orang lain, membaca, memahami dan menyelami karakter-karakter banyak orang. Ternyata banyak juga manfaat dari berorganisasi. Belajar bersabar, menerima pendapat orang lain, belajar berbicara pada banyak orang, belajar menguasai keadaan.

“Terima kasih kepada semua yang telah hadir disini, jadi saya akan membacakan kesimpulan rapat hari ini, bahwa besok tanggal 13 akan diadakan gerakan tanam seribu pohon sesuai dengan pendapat mbak Lily dan juga telah disetujui oleh semua anggota. Pengambilan bibit di kelurahan yang akan dibantu oleh Bapak Agung. Dimohon kedatangan semuanya besok. Dan kami selaku pengurus sangat berterima kasih kepada Bapak Agung atas kesediaannya membantu kami dan sudah mempersilahkan kami untuk mengadakan rapat disini. Sekian dan terima kasih. Marilah rapat kali ini kita tutup dengan mengucapkan doa sesuai dengan keyakinan masing-masing.” Kata Ketua mengakhiri rapat. Ayah hanya mengangguk takzim membalas ucapan terima kasih ketua.

“Mari silahkan diminum. Jangan sungkan-sungkan.” Kata ayah mempersilahkan mereka makan. Ku lihat jam tanganku, pukul 22.30 WIB. Aku memberi isyarat pada ayah bahwa aku mau naik kelantai dua menuju kamarku untuk tidur. Aku sudah sangat mengantuk. Dan beliau mengangguk. Aku beranjak dari ruang depan.

“Adik Lily bagus sekali penyampaian pendapatnya. Belajar dimana dek? Adik ikut OSIS ya pasti?” Tanya ketua memberhentikan langkahku. Aku hanya tersenyum membalasnya.

“Adik kelelahan ya? Maaf dek, Cuma mau Tanya nomer handphone adik boleh kan? Jika mungkin saya memerlukan pendapat-pendapat adik lagi. Adik punya ym?” Ungkapnya santun. Ku ambil kertas note, ku tuliskan nomer hp-ku serta id yahoo messengerku. Dan ku serahkan pada ketua.

“Terima kasih banyak, dik.” Tambahnya. Aku berpamitan dan segera pergi tidur. Mataku sudah tak bisa diajak kompromi. Jika aku tidur terlalu malam, besok aku tak bisa mengikuti tutorial pagi. Kan sayang, nilaiku bisa merosot. Kupasang jam bekerku pada pukul tiga pagi. Dan aku tidur.

xXx

Tanggal 13 pukul 8 pagi. rumput-rumput yang hijau terhampar bak permadani yang menyejukkan mata. Aster corvifollus menambah indah pemandangan taman desa ini. Warna bunganya yang bermacam-macam menyemarakkan suasana. Siapapun yang melihatnya seakan dialiri seribu watt semangat dan juga kebahagiaan. Anggota dan para pengurus Karang Taruna sudah mulai berkumpul untuk merealisasikan agenda rapat kemarin. Setelah sebelumnya mengambil bibit pohon jarak, ketua mengawali acara dengan memberi sambutannya.

“Saya ucapkan banyak terima kasih atas kesediaan teman-teman semuanya yang telah menghadiri realisasi atau tindak lanjut dari kesimpulan rapat kemarin. Marilah sebelum kita memulai acara pada pagi hari ini kita berdoa terlebih dahulu. Berdoa menurut agama dan kepercayaan masing-masing dipersilahkan… Berdoa selesai.” Sambuatan ketua.

Para pemuda bertugas mencakul tanah membuat lubang untuk menanam nantinya, dan pemudi menyiapkan alat-alat yang diperlukan sehingga nanti para pemuda tidak usah menunggu lama. Atau mungkin pemuda berpasangan dengan pemudi.” Terang ketua kepada kami. Aku memulai mengambil sebuah bibit mahoni, dan kuhampiri seorang pemuda.

Sebelumnya aku tak pernah mengenalnya. Ia berkulit putih, lumayan tampan, tingginya sedang, dadanya tegap. ia memakai baju koko seperti santri dengan celana yang tak sampai mata kaki. Dari raut wajahnya sepertinya ia tak terlalu banyak bicara. Kuserahkan bibit mahoni padanya. Dan ia mulai menanamnya. Aku mengambil segayung air untuk menyiram setelah selesai penanaman. Mimic wajahnya sangat datar, setelah kuserahkan air sepertinya ia mengucapkan sesuatu, kalau tak salah brilliant. Kemungkinan penyebab dari kata itu meluncur dari mulut mungilnya adalah karena aku mengambil air hanya satu gayung untuk menyiram pohon mahoni. Kulihat para pemudi banyak yang mengambil satu ember untuk meyiram. Aku tahu pengetahuan tentang tanaman adalah dari majalah-majalah tanaman yang sering ayah beli. Tanaman tidak boleh mendapat terlalu banyak siraman air setelah penanaman, hanya kira-kira satu setengah liter air atau sekitar satu gayung.

Setelah menanam beberapa bibit pohon, keringatku meluncur deras. Terik matahari sangat kuat, mebuatku silau. Beruntung aku memakai topi oleh-oleh dari liburan di Bali libur semester kemarin. Aku beristirahat ke tempat yang telah disediakan., setelah sebelumnya ku ambil segelas es teh manis dari panitia.

“Tadi ngobrol apa aja sama Jupiter, Ly?” Tanya salah seseorang dari beberapa pemudi yang menghampiriku. Oh, pemuda yang menanam bersamaku tadi namanya Jupiter. Sepertinya mereka sangat ingin tahu. Aku habiskan es teh yang tinggal beberapa teguk lagi.

“Kami tak ngobrol sama sekali. Ku lihat ia tak terlalu banyak bicara.” Jawabku.

“Ooo… mungkin kamu aneh kan kenapa kami bertanya pada kamu?” Tanya seorang pemudi, aku mengenalnya namanya Wulan. Aku menjawab dengan anggukan kecil.

“Banyak gadis didesa ini sangat tertarik padanya. Kamu sih ngga pernah keluar rumah. Sesekali perlu lho. Termasuk mereka-mereka ini juga aku kagum padanya.” jelas Wulan sambil menunjuk teman-temannya.

“Kagum pada kesantunannya, ketampanannya, dan lagi yang membuat semua orang suka padanya adalah ia pintar agama, ia sangat menghormati orang tua. Tetapi tak sembarang wanita bisa dekat dengannya. Mungkin karena ia memegang teguh agamanya. Ia santri di salah satu pondok pesantren di Ngruki, Sukoharjo. Kebetulan hari ini ia pulang. Ia pulang hanya dua bulan sekali, namun semua warga disini sangat menyayanginya. Mereka akan sangat rindu apabila sampai dua bulan ia tak pulang. Makanya, tadi kami iri padamu, Ly.” Terang mereka padaku. Aku manggut-manggut mendengarkan mereka dan tersenyum kecil.

“Berarti Jupiter belum pernah pacaran, dan lagi pula dia anak yang sholeh. Santun lagi.” Gemingku dalam hati. Aku mulai simpati kepada Jupiter. Setelah kurasa lumayan aku beristirahat, aku menghampiri Jupiter lagi.

“Dari tadi ngga capek ya, Jupiter. Istirahat minum dulu atau makan cemilan yang telah disediakan sama panitia.” Tanyaku pada Jupiter. Ia hanya menggeleng perlahan. Ia tak suka banyak bicara. Bahkan ia lebih sering menunduk, dan menjawab pertanyaanku dengan tidak memandangku. Aku paham ia.

“Saya masih belum lapar kok. Lagian saya juga ingin menjalankan sunnah Rasulullah SAW.” Jawabnya tiba-tiba. Aku mulai mengerti karakternya. Jupiter yang tak banyak bicara, yang santun dan sopan, serta Jupiter yang sholeh. Aku mulai tertarik untuk mengetahui banyak hal tentang dirinya. Tak terasa kegiatan ini sudah hampir selesai.

“Oya, kenalkan, namaku Lily. Kamu Jupiter kan?” tanyaku memperkenalkan diri, sambil menelungkupkan kedua tanganku didepan dadaku. Aku tahu, jika aku mengajaknya bersalaman pastilah ia tak mau. Ia tersenyum indah sekali memandangku. Ah, jantungku berdegup kencang rasanya, seperti mau pingsan saja. Pipku mungkin terlihat merona kemerahan, aku malu sejadi-jadinya.

“Lily dengar, Jupiter anak pondok ya?” tanyaku sangat santun. Ia hanya mengangguk pelan. Setelah lumayan lama acara sudah selesai, Ketua telah membubarkan kegiatan ini.

“Terimakasih ya de’ Lily. Sampaikan salam saya pada ayah adik.” Ujar Ketua padaku sebelum pulang. Aku mengangguk dan tersenyum.

xXx

Aku mulai tak karuan terhadap Jupiter. Sekarang hampir tiap waktu sholat aku ke masjid hanya untuk melihat wajahnya, melihat aktivitasnya. Aku menghentikan waktu privatku sebentar, aku meminta ijin untuk melaksanakan sholat. Guru privatku memandangku aneh, dan beliau hanya geleng-geleng kepala tak percaya. Dulunya, aku yang meremehkan sholat. Meskipun aku meremehkan tetapi aku tak sampai meninggalkan sholat apapun, sepenting apapun itu kegiatannya. Dan ayah bunda sudah mulai menangkap semua yang ada dipikiranku. Dan mereka setuju dengan aku yang seperti ini. Mungkin mereka memandang karena Jupiter adalah orang yang santun berbudi, tahu agama lagi.

“Wah, kayaknya ada yang lagi jatuh cinta nich…” ungkap Bunda menyindirku saat aku sedang menyendok makan malamku. Beliau juga Ayah tersenyum memandangku. Aku datar.

“Sama anak pondok lagi. Wuih, hati-hati lho sayang. Baru ini kan kamu kenal sama pria sayang?” nasihat bunda. Aku hanya tersenyum simpul. Aku yakin, Jupiter anak yang baik. Setelah aku selesai makan malam, aku kembali kekamarku. Masyaallah ada sms dari Wulan.

Mlm Ly. Besok Si Jupiter mau balik ke pondoknya. Yakin ngga mau ngasih apa-apa nie? Bls gpl…” smsnya. Aku tersenyum membaca sms darinya. Aku membalasnya dengan emotion tersenyum. Aku matikan handphoneku. Setelah kurasa cukup belajar, aku tidur, besok aku masuk pagi.

xXx

Pohon-pohon cemara di taman depan bergoyang ditiup angin. Semilirnya dapat kurasakan dari kamar. Aku sengaja belum menutup jendela kamar. Kulihat diufuk barat warna langit mulai berubah menjadi kuning keabu-abuan. Aku menyalakan laptop hadiah juara lomba Matematika se-provinsi ketika aku masih kelas 1. aku harus menyelesaikan proposal untuk pengajuan kegiatan di sekolah bulan depan. Aku juga membuka Mozilla Firefox untuk mencari referensi-referensi. Tak lupa kubuka Yahoo Messengerku. Ada email dari devaleriana_90@yahoo.com...

From : devaleriana_90@yahoo.com

Assalamualaikum warohmatullah.

Masih inget saya ndak dek? Ini saya ketua Karang Taruna, Arif. Cuma pengen Ziaroh saja. Adik tidak keberatan kan, membalas email saya?

Wassalamualaikum warohmatullah.

Aku membalas emailnya. . .

To : devaleriana_90@yahoo.com

Subyek : Wa’alaikumsalam warohmatullah.

Masih ingat kok. Ada yang bisa Lily Bantu Kak Arif? Bagaimana kabarnya sekarang? Lily dengar Kak Arif bekerja di Jogja ya? Setiap seminggu sekali pulang?

Ku klik Send…

Tak selang lama ada balasan dari Kak Arif. Ia mengajak untuk chatting di yahoo messenger. Sebelum aku menjawab iya, ia telah mengirim pesan singkat.

Arif : udah buka dari tadi ya?

Lily : yupz… :-)

Arif : boleh jujur ngga de’?

Lily : ?

Arif : de’, sebenarnya saya sudah lama sekali ingin mengungkapkan ini. Saya sudah banyak tahu tentang ade’ pastinya. Ade’ pintar, baik, rendah hati, cantik lagi. Tapi sebelumnya maaf jika saya menyinggung atau menyakiti hati ade’. Saya sayang sama ade’ lebih dari sekedar teman. Terserah ade’ mau jawab apa, mungkin saya adalah makhluk yang bodoh serta hina mengungkapkan perasaan dari saya, orang yang tak tahu diri ini.

Lily : …

Aku tak tahu harus menjawab apa. Ini terlalu cepat tak kusangka ketua akan mengatakan itu padaku. Dan kurasa ini terlalu cepat. Aku lelah. Aku butuh pikiran yang jernih untuk memutuskan semua ini. Aku cinta sama Jupiter, tetapi dilain sisi. Fiuh, aku tak tahu lagi. Aku lelah, pusing juga bingung. aku menutup ym, juga mozilla dan kumatikan laptop yang berada dipangkuanku. Aku terlelap dalam keletihanku.

xXx

Ly, Jupiter pulang. Yakin ngga’ nyapa?” isi sms Wulan. Aku sudah tak bisa menahan perasaanku pada Jupiter, aku menulis sebuah surat untuknya. Kuambil secarik kertas berwarna merah jambu serta ballpoint warna, dan mulai kutulis surat untuknya.

Dear : Jupiter

Jupiter. . . Lihatlah awan di langit yang megah dan gagah. Rasakan belaian mesra dari sang bayu. Ia mewakili rasaku padamu. Aku yakin kau pasti paham maksudku. Berkenankah engkau, jika aku menjadikanmu sebagai teman hatiku? Aku tak tahu harus berbuat apa, terlalu konyol memang. Dan tak selayaknya mungkin seorang wanita mengirim surat cintanya terlebih dahulu. Namun, ketika cinta yang yakini diriku hadir dalam hariku. Tak mungkinku berpaling meninggalkan ketulusan. Walau nanti entah apa jawabanmu. Kubangga kubisa mencurahkan rasa yang dahulu belum pernah ada. Kan ku berikan cinta yang slalu terjaga indah yang abadi adanya. Aku akan sangat senang jika engkau sempatkan waktu lima menit untuk membalas suratku ini.

Dari Fatimah Lily Az-Zahra

Isi suratku. Kulipat suratku dan kumasukkan dalam amplop berwarna merah muda. Didepan amplop terlihat hiasan bunga kering yang sengaja ada disana untuk mempercantik penampilan amplop. Amplop itu kutitipkan sahabat dekat Jupiter yang rumahnya bersebelahan.

Setiap sore hari kusempatkan untuk mencegat teman Jupiter yang bernama Sari untuk menanyakan perihal balasan dari Jupiter. Sampai seminggu ini nihil. Tak ada reaksi apapun darinya. Sampai hari ini, dan hari ini ia kembali kepondoknya. Tetapi aku belum putus asa.

xXx

Tampak stripped canna beauty sedang dirubung banyak kupu-kupu yang indah. Tanaman-tanaman kerdil peperomia tak mau kalah menghias dirinya. Daun picisan, sekulen dan juga Ardisia. Aku selalu terbawa suasana jika aku di taman belakang sekolah ini. Sayang, tak banyak anak suka kesini. Padahal tanamannya sangat natural, meskipun terlihat seperti bunga-bunga hutan liar. Itu yang membuatnya unik. Aku menyalakan laptopku, aku harus segera menyelesaikan proposal pesanan Lintang. Padahal aku juga membutuhkan referensi yang telah dikirim oleh ayah ke emailku. Padahal aku sedang tidak mood untuk membuka internet terlebih emailku, sudah hampir dua mingguan aku tak membuak internet. Tetapi, demi sahabatku aku rela melakukan apa saja. Kubuka emailku, dan benar firasatku ada email dari ketua dan email dari teman-teman lamaku. Setelah menyelesaikan proposalku. Kusempatkan untuk melihat inbox emailku. Aku membuka email dari teman-temanku dan tak lupa kubalas email mereka. Aku mulai membuka email dari Kak Arif

From : devaleriana_90@yahoo.com

Mengapa ade’ membisu? Apakah saya terlalu hina dimata ade’? apakah getaran hati mengandung arti cinta? Apakah terlalu berani jika saya mengatakan bahwa saya sedang jatuh cinta. Haruskah saya berbohong tentang perasaan saya ini. Sekitar jam tujuh malam kupandangi langit yang indah. Bersama ribuan bintang yang menghiasi langit serta rembulan yang mengingatkan saya pada ade’. Saya benar-benar menggila kerana ade’. Jika ade’ berkenan mohon dibalas.

Aku datar membaca email dari Kak Arif. Aku masih linglung. Dan tak hanya satu email dari Kak Arif.

From : devaleriana_90@yahoo.com

Kugerakkan langkah kaki, dimana cinta akan bertumpu. Kulayangkan jauh mata memandang tuk melanjutkan mimpi yang terputus. Masih kucoba mengejar rinduku, meski peluh membasahi tanah. Lelah penat tak menghalangiku. Temui bahagia bersamamu. Dan aku bermimpi bertemu dengan bidadari surga, dan jelas dalam pandangku bahwa itu adalah engkau.

Aku tak pernah mengenalnya. Tetapi yang kulihat dari bahasanya, ia santun juga baik sepertinya.

From : devaleriana_90@yahoo.com

Bagai bintang yang bersinar dan berpijar. Engkau selalu ada disamping rembulan. Membantunya, mendampinginya hidup diatas takdir. Tetapi aku hanya pemimpi kecil yang berangan tuk merubah nasibnya dan aku bukanlah orang yang mengerti tentang kelihaian membaca hati. Aku bermimpi indah, aku bagaikan rembulan itu dan engkau bintang yang selalu menerangi hidupku. Menjadi separuh jiwa da hidupku dan engkau menutup lubang dalam hatiku. Bukankah hidup hanya perhentian, tak harus kencang terus berlari. Ku helakan nafas panjang tuk siap berlari kembali, berlari kembali, melangkahkan kaki. Menuju cahaya yang terang itu. Haruskah aku katakan, baru pertama kali aku rasakan rindu seberat ini.

Tak terasa bulir-bulir air mataku menetes membasahi pipiku. Kupandangi email dari Kak Arif. Ia begitu baik. Aku tak mampu membendung air mataku.

From : devaleriana_90@yahoo.com

Tak mudah mencari cinta. Sempurna temukan air, disaat dahaga. Kulakukan apa saja tuk raih yang kudamba. Semerbak mewangi, suci dan murni menuju taman cinta. Jika rembulan tiada bersinar, cukup wajahmu gantikan. Karna hati melebihi cantik parasmu. Kebahagiaan bukan khayalan jika hati penuh keyakinan. Kemuliaan yang dinanti, akan datang menjelang. Lihat bulan tersenyum sangat menawan. Bintang tetap setia menemaninya, aku ingin engkau yang menjadi bintang itu de’. Bukan orang lain yang ada disisi, ku ingin ade’ disini bersama menatap keindahan alam.

Hatiku kembali bergetar membaca email darinya. Air mataku tak henti-hentinya menetes. Aku tak tahu mau berkata apa. Aku tak sanggung mengucapkan sesuatu. Ini membuatku menjadi mengerti. Aku tak bisa jujur. Aku tak sebaik seperti yang ia kira, dan aku hanyalah manusia yang lemah lagi tak punya apa-apa. Bel masuk telah berbunyi, jam terakhir. Hari ini ada privat piano. Sepertinya aku ingin libur saja. Aku ingin menjerit, tapi tak kan bisa. Aku ingin menumpahkan semua ini, tetapi pada siapa? Siapa yang mau mendengar keluh kesahku. Kumatikan laptopku dan kututup. Kulihat Lintang menghampiriku, dan mendekapku. Aku menangis didekapannya. Meskipun aku tak pernah cerita tentang masalahku, tetapi ia bisa merasakan perihnya hatiku.

Entah mengapa, ia seperti bagian dari hidupku. Yang bisa merasakan sedihku, kecewaku, bahagiaku. Ia menenggelamkanku pada kasih putihnya. Ia bintang hidupku pelita gelapku. Ia bagai penyejuk kala dahaga menyergapku. Aku ingin mengucapkan sesuatu, tetapi, tapi telunjuknya menghalangiku untuk berbicara. Aku semakin tersedu dipangkuannya. Kucoba tersenyum dalam hati menangis, ia tahu. Dan pastilah senyumku tak tahu seperti apa wujudnya. Aku tak mengikuti pelajaran terakhir, aku pingsan kata Lintang.

“Ku lihat engkau diam, larut hening dalam sepi hatimu. Ku tahu engkau lelah, berat tuk melangkah kemana arahmu. Tenanglah, tenanglah sahabatku, aku disampingmu slalu. Dan kan kujaga slalu. Pejamkan matamu, jangan pernah ragu untuk melangkah aku ada disetiap langkah yang kau ambil dan aku akan mengingatkanmu kala engkau tersesat. Raih angan dan citamu, sahabat. Sandarkanlah kepalamu dibahuku, menangislah.” Ucapnya penuh makna. Ia menatapku lama, kemudian mengecup keningku untuk menenangkanku. Aku mencoba untuk bangun, ia melarangku bangun, katanya aku harus banyak istirahat. Aku diam dalam tangis, kusandarkan kepalaku pada Lintang. Ku rasakan kedamaian dalam dekapnya.

xXx

“Tekanan darahnya terlalu rendah, pak. Sejak kapan ia menderita hipotensi?” Ucap seseorang yang kudengar samar yang kurasa seorang dokter.

Kubuka mataku sangat berat, bau-bauan yang menyengat ini sangat aku kenali. Tak sulit melukiskan ruang ICU yang sedang aku huni ini. Ruangan yang tak terlalu lebar, dengan bau-bauan obat yang menyengat serta peralatan-peralatan yang membantuku hidup. Ada tabung oksigen disamping kananku, aku menggunakan tabung oksigen untuk membantu pernafasan. Disebelah kiriku nampak sebuah benda yang menunjukkan detak jantungku yang mirip seperti seismograf menggambarkan suatu getaran. Banyak selang-selang yang tersambung ditubuhku.

Aku merasakan nyeri yang sangat disetiap sambungannya. Infuse menetes perlahan-lahan melewati selang dan masuk ketubuhku sebagai ganti makanan. Rumah sakit, ya rumah sakit. Aku tergolek lemah diICU. Aku mencoba membuka mata lagi, meski berat aku memaksakannya. Kulihat Bunda dan Ayah sedang berbicara pada dokter. Lintang meraih tanganku dan menciumnya. Ia memandangiku iba. Kurasakan hangatnya tetes air matanya, ia menangis. Aku tak pernah melihat ia menangis setakut ini. Matanya sembab, ia terlihat kurang tidur dan juga kurang makan.

“Kamu koma selama satu minggu, kami semua cemas dengan keadaanmu. Aku takut, Ly.” Kata Litang padaku. Aku ikut menangis haru. Aku tak tahu apa yang sedang menimpaku. Rupanya Bunda belum tahu kalau aku sudah tersadar. Ketika beliau tahu, beliau langsung mendekapku penuh sayang. Menciumiku. Ayah juga.

“Semuanya akan baik-baik saja Bunda, Ayah, Lintang.” Kataku menenangkan mereka. Mereka menangis melihatku begitu tegar.

Setelah mendapatkan perawatan intensif dari medis beberapa hari, aku sudah boleh pindah ruangan diruang rawat-inap biasa. Kondisi kesehatanku sudah lumayan berkembang. Meskipun aku sakit aku tetap rajin sholat. Aku meminta ayah agar membawakan laptopku kemari, aku sangat bosan meskipun Lintang selalu kesini setiap pulang sekolah.

Setelah sholat dhuhur, ayah datang dan menepati janjinya. Ia menyerahkan laptopku. Ia mengacak rambutku. Beliau menawarkan buah-buahan padaku tetapi aku tak berminat. Aku nyalakan laptopku, batterynya penuh berarti ayah telah mengecasnya. Aku buka yahoo, aku ingin melihat emailku. Ada banyak email dari teman-teman sekolahku, ada juga dari teman mayaku, dan juga dari Kak Arif. Kebanyakan dari mereka turut prihatin atas dirawatnya aku disini. Ada juga teman mayaku yang menanyakan, mengapa aku lama sekali ngga online. Dan yang terakhir dari Kak Arif. . .

From : devaleriana_90@yahoo.com

Saya mendengar kabar, bahwa ade’ tergolek lemas disana? Bak disambar petir ketika saya mendengar kabar itu, kemarin bersama anak-anak Karang Taruna saya menengok ade’, tetapi sayang ade’ masih koma. Saya hanya bisa berdo’a untuk kesembuhan ade’. Saya tidak tenang makan, juga tak nyenyak tidur. Bagaimana saya bisa tenang jika separuh jiwa saya sedang terbaring tak berdaya diatas tempat tidur rumah sakit?

Ada lagi email darinya.

From : devaleriana_90@yahoo.com

Terlalu lama aku memendam rindu ini. Aku tak bisa mnyembunyikan rindu ini lagi padamu. Wahai jiwa yang tergolek lemah disana… apakah engkau mendengar lantunan syair rinduku? Mendengar segala rasa yang menghujam hatiku saat ini. Rasa yang membuatku bingung. semoga Allah masih mencurahkan rahmat-Nya, untuk memepertemukan saya dengan adik. Amin…

Aku terdiam membisu. Aku tak tahu harus membalas emailnya dengan apa.

Tok…tok…tok…

Kudengar seseorang mengetuk pintu kamar inapku. Ayah dan Bunda tadi berpamitan membeli makanan ringan. Setelah sebelumnya mematikan laptopku aku mempersilahkan masuk. Wulan, Ririn, Sari, teman-teman dari Karang Taruna.

“Yang sabar ya, neng Lily.” Papar Sari. Aku mengangguk pelan. Aku risih dipanggil neng. Wulan dan Ririn memanggilku hanya dengan nama biasa saja. Ah Sari, terlalu berlebihan. Mereka membawakan buah-buahan untukku. Ku ucapkan terima kasih. Sari memberi isyarat pada kedua temannya untuk keluar sebentar. Kelihatannya ia ingin bercerita perihal aku dengan Jupiter.

“Neng Lily, sebelumnya maaf, bukannya saya ingin memperparah keadaan neng. saya hanya ingin memberi kabar. Keberatankah neng jika saya menceritakannya?” Tanya Sari padaku. Aku menjadi penasaran. Gerangan apakah yang membuat mereka kesini.

“Silahkan.” aku persilahkan mereka bercerita.

“Kelihatannya, tak ada reaksi apapun dari Jupiter. Malahan sekarang saya mendengar kabar buruk, saya kira Jupiter bukanlah tipikal orang yang suka mendekati wanita, ternyata saya salah neng. Akhir-akhir ini saya mendengar kabar, bahwa sekarang Jupiter pulang sebulan sekali, dan itu karena ia rindu pada Dwi Tika. Neng tahu Dwi Tika kan?” jelasnya padaku serius. Aku mengangguk. Dwi Tika adalah temanku, meskipun kami tak dekat. Ia berpostur sedang, tak terlalu tinggi. Kulitnya coklat sawo matang. Wajahnya lumayan manis karena ia rajin merawatnya. Tubuhnya bisa dibilang hampir sempurna. Hanya saja ia mempunyai bekas luka disekujur tubuhnya yang menjadikan kulitnya belang-belang. Ya Dwi Tika temanku.

“Rupanya Jupiter telah jatuh cinta padanya. Dan sepertinya juga Dwi Tika juga cinta pada Jupiter.” Ungkap Sari. Aku kaget bukan kepalang. Ada sebulir air mata yang menetes dari pelupuk mataku.

“Dan saya juga mendengar, ia sering kerumah Dwi Tika bersama Kak Surya sahabat dekatnya. Walaupun hanya sekedar bersepeda untuk melihat rumahnya. Aku sudah tak tahu apa yang ada dalam pikirannya sekarang. Ia sudah berubah. Jupiter sudah benar-benar berubah. Celananya sudah mulai menutupi mata kaki.” Jelasnya iba. Aku memejamkan mataku. Tak terasa air mata deras mengucur dari mataku membasahi wajahku yang pucat.

“Aku nasehatkan pada neng. Lupakan Jupiter… masih ada yang lain yang menunggu kebaikan dan ketulusan cinta neng. Kak Arif…” kata Sari menasihatiku. Tetapi aku tak bisa menerima semua ini. Aku tak akan rela melepas Jupiter pada siapapun meskipun temanku sendiri. Aku lemas. Aku pingsan lagi.

Ku lihat dalam ketidaksadaranku Lintang, sahabatku menghambur kedalam kamarku, ku tahu ia menguping pembicaraanku dengan Sari. Ia memelukku erat, ia panik sekali. ia mengecup keingku dan membisikkan kata ‘Bertahanlah, Ly’. Lintang bagai tonggak dalam hidupku. Bagai akar yang mengakar kuat yang menegakkan berdiriku. Yang menguatkanku kala hendak roboh. Aku tak ingat apa-apa lagi.

xXx

Aku masih belum tersadar. Aku masih terbaring melemah, dan aku kembali dipindahkan keruang ICU. Kondisiku melemah. Sulit sekali kubuka mataku. Tenggorokkanku serak. Sekarang aku menggunakan oksigen sebagai bantuan pernafasan. Tak sembarangan orang boleh masuk ketempat ini. Hanya satu orang, atau maksimal dua orang dan itupun harus memakai baju khusus. Bunda tak henti-hentinya menangis. Sampai-sampai kerudungnya basah terkena air mata yang mengalir tanpa henti memandangiku. Oh bunda, betapa engkau sangat tak ingin kehilangan aku.

Setelah beberapa jam, aku mulai bisa menggerakkan jari-jari tanganku disusul kemudian tanganku dan ku mengerjap-ngerjapkan mataku. Bunda yang semula tidur disampingku memegangi tanganku, terbangun. Beliau mengucapkan takbir, tahmid berulangkali tanda syukur kepada Allah. Kulihat matanya bengkak karena sering menangis dalam sujud panjangnya. Badanku ngilu.

“Bunda…”ucapku lirih.

“Sayang, belum boleh banyak bergerak. Bilang saja apa yang nanda butuhkan nanti bunda ambilkan.” Ungkap beliau lembut. Aku bahagia sekali mempunyai bunda yang sangat sabar menghadapiku. Aku tak melihat Lintang. Aku memandangi seluruh ruangan ini. Bunda seakan tahu, aku sedang mencari Lintang.

“Mencari Lintang, sayang?” Tanya beliau pelan. Aku menganggukkan kepala tanda iya.

“Tadi Bunda menyuruhnya mandi dan makan. Ia disini selalu sejak nanda kembali keICU. Bahkan ia tak sekolah. Bunda sudah menyuruhnya untuk sekolah, dan menjenguk nanda setelah pulang sekolah. Tetapi ia tetap bersikeras disini.” Papar Bunda. Ah Lintang… mengapa ia tak mencari teman wanita saja untuk dijadikan sebagai pacarnya. Aku tak pernah mengerti dirinya. Ia sosok yang misterius. Tak suka banyak bicara, namun apapun yang dikatakannya akan mampu meluluhkan hatiku, membuatku tenang dan damai. Aku bahagia bisa mengenalnya.

xXx

Aku sudah merasa lumayan baik. Sekarang aku bisa bernafas tanpa harus ada bantuan tabung oksigen. Sepertinya aku bosan di rumah sakit. Aku rindu pada rumah pada kamar, pada Bi Atik pada bunga Lilyku, pada ikan-ikan yang membuat percikan air dikolam depan. Tapi kata Bunda aku belum boleh pulang, karena sewaktu-waktu aku bisa kambuh. Kata beliau aku belum melewati masa kritis, tapi aku sudah merasa baikan dan aku sudah sangat bosan disini. Mungkin aku harus mengurungkan niatku untuk kembali kerumah untuk sementara ini. Aku ingin pindah ruangan, tidak diICU. Dan Lintang menyampaikan maksudku pada Bunda. Beliau menyetujuinya, sekarang aku kembali pada ruanganku dirawat sebelumnya. Aku masih merasakan bosan, aku ingin jalan-jalan dsekitar rumah sakit sebentar, dan lagi Lintang mengutarakan maksudku. Awalnya Bunda tak mnyetujuinya, tetapi karena alasan Lintanglah aku bisa keluar kamar meskipun hanya sebentar. Aku dinasihati untuk memakai kursi roda, karena aku masih belum boleh banyak bergerak. Aku menurut saja. Lintang mendorongku, mengajakku jalan-jalan. Aku minta padanya agar membawaku menuju ketaman.

Kulihat kolam kecil yang disampingnya ditumbuhi Nymphaea caereulea atau the blue water lily yang sangat menawan. Tepat ditengah kolam terdapat patung anak gendut semacam Manequin Piss legenda negeri Belgia yang memancurkan air sepanjang waktu dari kemaluannya yang mungil dan lucu itu. Ikan-ikan hias yang mirip koi itu sengaja diletakkan didalam kolam agar membuat suasana kolam hidup. Anggrek-anggrek bulan serta tempat persemaiannya tergantung didinding-dinding yang berderet, dibawahnya tersusun apik kaktus Chaemasereas dan Parodia Scopa. Dan tentulah mereka dirawat dengan baik.

Kulihat disebelah tangga terdapat bunga yang bunda menyebutnya dengan bunga ‘Sri Rejeki’ tumbuh subur dan mengumpul indah. Juga hijaunya rumput jepang bak permadani yang terhampat diatas bumi. Disebelahnya terdapat bunga bougenville berwarna pink yang merambat keatas.

“Sayang, sudah ngga bosan kan? Waktunya istirahat, yuk…” kata Bunda mengagetkan aku dan Lintang. Aku menyetujuinya. Lintang mengantarkanku hingga keruangan lagi.

xXx

“Sayang, dicari sama Sari nie…” kata bunda membangunkanku dan mengusap keningku. Aku mengerjap sebentar. Sari memandangiku dan tersenyum. Bunda meninggalkan kami berdua.

“Maaf ya neng Lily. Karena saya, neng jadi makin melemah seperti ini.” Ungkapnya minta maaf padaku. Aku hanya menyunggingkan senyum.

“Sebelumnya lagi saya meminta maaf, saya ingin mengabarkan dan menceritakan sesuatu pada neng Lily.” Tambahnya lagi.

“Apakah Ketua sudah menyatakan perasaannya pada neng?” Tanya Sari mendelik. Aku mengangguk pelan tanda ya.

“Neng belum membalas apapun email dari Kak Arif?” tanyanya lagi. Aku menggeleng.

“Neng, sekarang Kak Arif mulai berubah. Sepertinya ia terpengaruh teman-temannya sekarang. Sepertinya Kak Arif mulai melalaikan tanggung jawabnya. Saya sempat mendengar kabar bahwa ia mulai mabuk-mabukan, bahkan ia sudah mulai merokok sekarang. Saya khawatir neng.” Paparnya pasrah.

“Lantas saya dapat membantu apa mbak?” tanyaku penasaran.

“Mungkin neng lebih tahu jawabannya daripada saya. Sudah ya neng. Saya mau pulang dulu.” Pamitnya dan berlalu pergi. Aku masih terdiam terpaku. Kuambil laptop yang terletak dimeja sampingku. Kubuka emailku. Benar firasatku ada email dari Kak Arif juga banyak dari teman-temanku…

From : devaleriana_90@yahoo.com

Terbuai aku hilang, terjatuh aku dalam keindahan penantian. Terucap sepatah keraguan hati yang membuatku bimbang. Detik-detik waktu seakan mengerikan. Dinginnya malam membuatku menggigil. Aku sadar, mencintai ade’ penuh rasa sabar. Tetapi aku ragu, aku bimbang. Aku kehilangan ragaku. Tolong aku dan Bantu aku..

From : devaleriana_90@yahoo.com

Dengarkanlah permintaan hati yang teraniaya dalam sunyi. Aku semakin jauh…makin jauh…

Hanya dua email darinya, pekikku dalam hati. Ia mulai bosan.aku menulis balasan untuknya.

To : devaleriana_90@yahoo.com

Subyek : maafkan aku

Masih adakah separuh hatimu yang kau berikan hanya untukku. Kuharap engkau masih menyimpannya. Maafkan kata yang tlah terucap, seandainya aku dapat meyakinkanmu. Masih adakah separuh janjimu yang engkau bisikkan hanya padaku. Hadirnya dirimu berikan semangat baru. Kau mampu luluhkan air mataku. Lembutnya hati dan tuturmu, jujur aku kagum pada Kakak.

Lily dengar Kakak sudah mulai berubah? Kakak yang dulunya Lily kenal adalah seseorang yang bertanggung jawab, santun, baik. Tetapi mengapa sekarang Kakak berubah? Sekarang Kakak berteman dengan orang-orang yang bengal, Kakakpun sudah berani merokok. Hati ini seakan tersayat perih, Kak. Perih sekali…

Kak, Lily lihat ada sesuatu yang berbeda dengan kakak, membuat Lily jadi tak mengerti. Katakan sejujurnya pada Lily, jangan Kakak diamkan Lily. Ternyata Kakak sudah tak lagi menyayangi Lily. Maafkan jika slama ini Lily acuh pada kakak. Lily ngga’ mau Kakak seperti ini, Lily mohon jika Kakak masih sayang sama Lily, Kakak hentikan kebiasaan buruk itu. Lily ngga’ suka orang yang pesimis.

Ku-klik perintah send. Fiuh, betapa beratnya ini. Aku masih mencintai Jupiter, tetapi aku tak bisa membiarkan Kak Arif dalam keadaan seperti ini. Mereka juga sahabat dekat. Tak berapa lama, aku mendapatkan jawaban dari Kak Arif.

From: devaleriana_90@yahoo.com

Apakah saya hanya bermimpi? Benarkah ade’ menerima cinta saya? Benarkah itu de’? Ya Allah terima kasih, terima kasih, terima kasih… segala puji hanya untuk Engkau. Baiklah, saya akan merubah kebiasaan buruk saya demi ade’… ya DEMI ADE’…

Aku linglung. Aku tak berpikir panjang tentang apa yang akan terjadi selanjutnya. Aku ingin pulang. Aku ingin menjernihkan pikiranku. Meskipun tanpa ijin dari siapapun aku bersikeras ingin kembali kerumah. Dan aku diijinkan pulang besok.

xXx

“Apakah Jupiter sudah punya pacar?” Tanya Dwi Tika suatu hari. Aku membohonginya dengan bercerita padanya bahwa akulah teman curhat Jupiter dan Jupiter telah menganggapku sabagai adiknya.

Aku menceritakan bahwa ia mempunyai pacar yang baik, shalehah, cerdas, kaya dan lebih segala hal darinya. Aku menghasutnya agar ia membenci Jupiter dan segera menjauh dari kehidupan Jupiter. Hampir setiap ada kesempatan aku bertemu dengan Dwi Tika, ia selalu menanyakan banyak hal tentang Jupiter dan lagi-lagi aku mengada-ada cerita agar ia segera menjauh dari Jupiter.

Dwi Tika mulai bimbang dengan pilihannya. Ia menceritakan segala permasalahan padaku, padahal aku menusuknya dari belakang. Ya Allah maafkan aku. Aku tak tega sebenarnya, tetapi aku tak rela Jupiter menjadi miliknya dan menjadi milik siapapun.

Setelah aku benar-benar yakin bahwa Dwi Tika ragu, aku menulis sebuah surat untuk Jupiter. Ku tulis surat cintaku yang kedua untuknya. Dan aku menitipkannya pada Kak Surya sahabat dekatnya. Ya Allah aku lupa memesannya agar tak memberikan suratku ketika ada adiknya, ketua Karang Taruna, Kak Arif. Dan ketakutanku benar-benar terjadi. Kak Surya memberikan suratku pada Jupiter ketika mereka tengah bercengkerama renyah, dan Kak Arif sudah bisa ditebak ia marah sejadi-jadinya.

Ia berlari kencang. Aku berlari menghampiri Kak Arif, aku bingung menjelaskan padanya. Aku mengaku salah, sangat salah. Ia masih berjalan dengan cepat aku tertatih-tatih mengikutinya. Nafasku tersengal, ia sempat menengok kepadaku namun ia kembali berjalan cepat. Akhirnya aku dapat meraih tangannya, ia mengibaskan dengan keras. Tanganku terpelanting sakit. Ahh.. pekikku agak keras. Aku menahan sakit yang sangat. Aku masih berusaha mengejarnya. Aku salah telah menghianati cintanya. Aku tak ingin kehilangan Kak Arif, entah apa yang kupikirkan kini aku hanya memikirkan itu. Apakah aku sudah mulai menerima Kak Arif, aku tak tahu pasti. Ia masih marah.

“Kak, tak akan mungkin Lily bisa mengejar Kakak. Nafas Lily mulai tak karuan. Lily minta maaf sekali.” Aku berhenti dan mencoba berbicara pada Kak Arif. Nafasku masih terengah-engah, tersengal, detak jantungku lebih tak karuan lagi. Aku tersimpuh lemas. Kak Arif berbalik menghampiriku.

“De’, saya kecewa sekali pada ade’. Ade’ benar-benar menghancurkan separuh hati saya. Saya kecewaaa… sekali. Pertamanya ade’ ucapkan kata-kata yang terindah, keduanya saya terlena, saya terbuai mimpi indah. Tapi semua sirna semuanya musnah setelah saya tahu aku sebagai pelampiasan. Ketiganya aku sadar aku bodoh, aku menyesal.”ungkapnya dengan mata yang berkaca-kaca. Ia menolongku berdiri. Aku paham perasaannya. Aku juga pernah merasakannya perihnya cinta. Aku ikut menangis.

“Lily minta maaf…” ucapku lirih dan tergagap dengan tetesan air mata yang tak bisa kubendung lagi. Kami haru dalam tangis. Kak Arif memelukku erat, aku juga memeluk Kak Arif. Kami hening dalam sedih.

“Sekarang, Lily berjanji akan berupaya melupakan semua ini. Akan Lily coba buang semua masalalu ini. Dan jangan pernah sekali-kali Kakak menyakiti Lily dengan mengungkit-ungkit masalah ini. Akan Lily coba berikan sepenuh hati Lily untuk Kakak.” tuturku lemah masih dengan linangan air mataku. Kak Arif kembali memelukku erat.

Ring tone Letto-Lubang dihati handphoneku memekik. Bunda menelpon.

“Hallo, assalamu’alaikum bunda.” Sapaku menjawab telpon.

“Hallo, assalamu’alaikum, nanda dimana? Tadi pamitnya mau sholat isya’ kan? Kok lama sekali sampai jam 8? Bunda jadi cemas. Nanda sekarang dimana? Baik-baik saja kan? Perlu dijemput ngga’?” seloroh bunda. Aku mengernyitkan dahi.

“Masyaallah Bunda, Lily baik-baik saja kok. Bunda ngga’ usah khawatir. Sebentar lagi nanda pulang. Tunggu ya bunda. Wassalamu’alaikum.” Jawabku dengan sesekali senggukan dan kumatikan telpon. Pastilah bunda bertanya mengapa aku menangis.

“Nanti sms atau telpon saja jika Kakak ada perlu sesuatu. Lily pulang dulu ya, Kak.” Kataku berpamitan pada Kak Arif.

“Ngga’ baik wanita pergi sendiri malam-malam gini. Saya antar ya, nanti sampai di pos satpam.” Tawarnya. Aku terdiam sejenak dan mengangguk. Kami menyusuri jalan-jalan setapak menuju perumahan ‘Pabelan Asri’ sambil bercanda. Setelah sampai di pos satpam Kak Arif melanjutkan perjalanan.

“Loh, katanya Cuma sampai pos satpam?” tanyaku heran. Ia tersenyum melihatku.

“Dikirain ade’ lupa, eh, ternyata ngga’ tow?” candanya. Aku menggeliat manja.

“Ya sudah. Assalamu’alaikum.” Pamitku.

“Wa’alaikumsalam. De’ tunggu.” katanya keras mengagetkanku. Aku berbalik badan, dan bertanya-tanya.

“I love you… good night.” Ungkapnya bahagia. Aku menjawabnya dengan senyum.

“de’, tunggu sebentar.” Katanya lagi. Aduh apa lagi gerutuku dalam hati. Kak Arif memberikan cium jauhnya padaku ia terlihat sangat manja. Aku melambaikan tanganku untuk yang terakhir setelah aku sampai didepan rumahku. Aku memencet bel.

Bi Atik membukakan gerbang.

“Darimana saja, non?” Tanya Bi Atik sambil menutup gerbang.

“Nggak dari mana-mana kok Bi.” Jawabku singkat. Aku masuk rumah. Bunda memang benar telah menunggu. Kuraih tangan Bunda dan segera kucium penuh takzim. Beliau terheran-heran.

“Ayah mana, Bunda?” tanyaku pada Bunda yang agaknya mengagetkan beliau.

“Oh…oh ayahmu belum pulang, sayang.” Jawab beliau terbata-bata

“Lily kekamar dulu ya Bun. Capek banget nie.” Selorohku berpamitan pada beliau.

“Ngga’ mau dipijit sayang?” Tanya beliau menawariku. Aku hanya menggelengkan kepala. Aku menaiki tangga. Setelah sampai kamar, ku rebahkan tubuhku diatas tempat tidur.

Blackberryku memekik…sms dari Kak Arif.

Mlm de’, blm bobo khan? eh btw, blh g’ sy panggil syg?”

“G’ blh…udh tll srg digunakan. Pake’ aja dinda. Trs klo Lily panggil Kakak, A’a mgkn atau Akang…hehe..” balasku.

Ydh, trsrah dinda aja. :-)jawabnya lagi.

udh y kang. Dinda ngantuk ni… nite…” smsku mengakhiri percakapanku.

temaram lmpu sdh rmang. Hny kunang yg tmni aq mlm ini..dan bntang yg q anggp adl engkw syg..kmampuan mlihatku tgl 5watt. nite hev a nis drem.” Katanya bijak. Aku tersenyum simpul. Aku lelah, aku tidur.

xXx

Aku sedang berlibur akhir pekan bersama Ayah. Kaliurang adalah pilihan yang tepat untuk berlibur. Bulan April adalah hari penetuan sekolahku. Ujian Nasional. Aku perlu memampatkan otakku. Mungkin aneh kelihatannya kebiasaanku, namun aku memang telah terbiasa sebelum ujian aku akan berlibur dan juga setelah ujian apalagi jika aku mendapatkan predikat siswa teladan, kemungkinan liburannya akan panjang.

Aku bersantai diteras depan villa, sambil membaca majalah. Bunda sedang menyiapkan sarapan bersama Bi Atik. Ayah sedang bermain golf dihalaman belakang villa.

Mungkin sebentar lagi Bi Atik selesai memasak, dan aku bisa sarapan sebab perutku sudah mulai berbisik. Aku masuk keruang tengah. Aku melewati ruang tamu, sepertinya penataan ruangannya berbeda dari yang sebelumnya.

Sekarang terdapat lampu-lampu yang teduh dan perabotan utama disana adalah sebuah sofa Victorian rosewood berwarna merah. Sponnya didesain langsung dari teknologi jepang, sehingga barangsiapa duduk disana seakan menjadi seorang paduka raja diatas singgasananya. Ya memang ada yang berbeda disini. Aku menuju ruangan disampingnya yang merupakan kamar makan. Terlihat Bunda dan Ayah tengah duduk dan bercengkrama, mereka menunggku sarapan. Bunda telah siap dengan pakaian jalan-jalannya, beliau terlihat kalem.

Sarapan pagi disajikan dengan cara yang berbeda. Ruangan makan ini terbuka menghadap taman samping yang merupakan kebun anggrek dan juga kebun-kebun teh petani yang menghampar. Dimeja makan, terlihat mewah dengan kayu cinnamon glaze, mejanya terlihat lucu namun berkelas dengan terracotta tile top oval. Aku duduk disebelah Bunda. Pertama-tama, Bi Atik membawakan makanan untuk merangsang lapar adalah pumpkin gorgonzola soup. Lalu hadir, Caesar salad dan kemudian menu utama chicken cordon bleu, vitello alla provenzale. Dan makanan penutupnya, creamy cheesecake topped with strawberry puree, buah-buahan persik dan prem.

Ah, hidangan ini terlalu mewah. Padahal hanya sarapan, seharusnya Bi Atik memasak omelet dan membuatkanku teh earl grey kesukaanku atau jika tidak cappuccino saja.

Ring tone Lettoku menjerit. ‘Ada telpon sepagi ini dari siapa ya?’ tanyaku dalam hati.

“Hallo, assalamu’alaikum.” Sapa seseorang diseberang sana.

“Wa’alaikumsalam. Kak Arif ya?” jawabku, tanyaku.

“Ya dinda. Akang dengar, dinda liburan ke jogja ya?” Tanya Kak Arif.

“Ya Kak. Akang ke villa Lily di Kaliurang aja kalau mau ketemu.” Kataku manja.

“Ya dinda. Kalau Akang sempat, Akang kesana.” Jawabnya.

“Tempat kerja Akang didekat Malioboro kan? Ntar, Lily mau jalan-jalan sama Bunda beli pernak-pernik disana sekitar jam 9-an. Hari ini kan Minggu, akang libur kan?” paparku panjang.

“em.. jam 9 ya? Sepertinya akang punya jadwal futsal, ada kelas juga jam 11. tapi ngga’ apa-apa. Akang ijin sama dosen aja. Mumpung dinda lagi ada kesempatan. Akang batalkan jadwal hari ini.” Jelasnya tersenyum. Setahuku, Kak Arif hanya bekerja disini. Atau mungkin bekerja sambil kuliah. Tanyaku dalam hati.

“Loh, Kakak disini belajar juga tho?” tanyaku kaget.

“Ho-oh. Ya belajar sambil bekerja de’. Ah, jadi malu.” Katanya pelan. Aku tersenyum simpul mendengar penuturannya. Ada setetes rasa yang membasahi hatiku. Aku tak tahu apa itu dan yang aku tahu pasti ia membuatku damai.

“Ya sudah ya Kang. Nanti ketemu disana. Nanti Lily sms lagi. Assalamu’alaikum.” Kataku mengakhiri pembicaraan.

“Ya, wa’alaikumsalam wr.wb.” Jawabnya.

xXx

Fillicum desipiens biasa ditanam dibotanikus untuk mengundang burung. Daunnya sangat lebat tak kenal musim. Daunnya cekung, sehingga memungkinkan air untuk ada dicekungannya itu. Dan itu dimanfaatkan oleh burung-burung kecil untuk minum. Aku menyusuri jalan menuju Malioboro.

Diseberang jalan tampak pohon yang menjulang tinggi keatas kekar. Kalau tak salah ganitri namanya dan nama latinnya Claeocarpus sphaericus schum. Ku taksir tingginya mencapai hampir 20 meter. Dua kali lebih tinggi dari fillicum. Dan bertengger diatasnya red greasted hanging parrots. Pemandangan yang menakjubkan.

Tak terasa aku menikmati pemandangan, sudah hampir setengah jam aku tempuh dan sekarang tergambar ramainya Malioboro didepanku. Setelah Bunda memarkir Innova kami, beliau mengajakku untuk singgah membeli es kelapa muda dengan gula pasir. Padahal cuaca tak terlalu panas, tetapi Bunda membeli es.

“Oya Bunda, nanti… emm, teman Lily mau kesini. Tahu Kak Arif kan, bun?” ungkapku pada Bunda.

“Benarkah itu sayang? Bunda dengar Kak Arif kan kuliah disini juga. Teman apa teman nich?” celetuk Bunda menggodaku. Pipiku merona merah, aku malu sejadi-jadinya.

“Jujur aja sayang sama Bunda. Bunda ngga’ marah kok. Sebentar lagi kan kamu mau kuliah. Kamu harus membuka wawasan dan pergaulan kamu.” Nasihat Bunda padaku sambil tersenyum indah. Aku hanya mengangguk malu.

Nada smsku berbunyi…

Asslm. Dinda dmn? Akang sdh didpn malioboro mall nie. C4 ksni ya. Wsslm.

Sms dari Kak Arif bisikku pada Bunda danku perlihatkan smsnya. Bunda menggeret tanganku dan mengajakku untuk segera menemui Kak Arif. Setelah beberapa menit, akhirnya kami menemukannya.

“Sudah lama menunggu, Bu?” tanyanya ramah pada Bunda. Bunda hanya tersenyum lebar dan mengangguk.

“Nak Arif kuliah disini ya? Ambil jurusan apa?” Tanya Bunda padanya. Aku hanya diam saja.

“Ambil Sastra, Bu.” Jawabnya singkat. Bunda hanya menanggapinya dengan Oo.

“Oya, Bu. Mungkin ingin mencari sesuatu? Nanti saya temani atau de’ Lily mungkin cari manik-manik?” tanyanya. Aku mengangguk pelan.

Kami berjalan menyusuri ramainya pasar Malioboro ini. Tiba-tiba Kak Arif berhenti pada salah satu pedagang yang menjual perhiasan ukir. Ia memesan empat gelang yang bertuliskan aku, bunda, ayah dan juga ia sendiri. Setelah menunggu beberapa saat, gelangnya pun jadi. Ia menyerahkan gelang yang bertuliskan nama Ayah, dan Bunda pada Bunda. Dan ia menyerahkan gelang yang bertuliskan namanya padaku dan memakaikannya. Ia memakai gelang yang terukir namaku pada permukaannya. Perasaanku membuncah, namun aku harus bisa menahannya. Bunda berpamitan sebentar, beliau ingin mencari tas dari bathok kelapa. Dan kami berjanji bertemu didepan mall malioboro.

Dan ketika Bunda telah pergi jauh, Kak Arif menyerahkan sebuah liontin dengan kristal permata cinta yang tengahnya telah terukir namaku sebagai bandulnya. Mataku berkaca-kaca menerimanya. Kemudian ia memakaikan liontin itu dileherku. Aku sudah tak sanggup menahan buncahan bahagiaku. Aku memeluknya erat, dan kami menjadi tontonan orang-orang. Selang beberapa saat Kak Arif membisikkan ‘ngga malu kah? Udah ah’, aku tersenyum simpul dan melepaskan pelukanku.

Kami berjalan-jalan sebentar saja, karena ini hampir jam setengah sebelas. Aku menelpon Bunda.

“Halo, assalamu’alaikum. Bunda sudah belum. Lly sebentar lagi mau kesana.” Kataku.

“Wa’alaikumsalam. Kesini saja, Bunda didalam mall sedang mencari kalung dan gelang. Sebentar lagi mungkin sudah, ini Bunda baru dikasir membayar.” Kata Beliau.

“Ya sudah, Lily kesana ya Bunda. Assalamu’alaikum.” Kututup teleponnya. Aku mengajak Kak Arif segera menghampiri Bunda, aku tak ingin ia ketinggalan kelas. Kami sudah sampai diseberang jalan mall, kami masih harus menyeberang. Bunda sudah menunggu sedari tadi. Beliau melambakan tangan menyuruh kami segera kesana. Tiba-tiba dari arah kana meluncur sebuah bus dengan kecepatan yang sangat tinggi, aku terkaget dan Kak Arif sedang menyeberang. Aku menjerit keras. Dan benar Kak Arif tertabrak. Aku hanya bisa menangis histeris. Banyak orang yang kemudian mengerubungi kami. Bunda mendatangi kami. Beliau mengambil mobil innova kami untuk mengantarkannya kerumah sakit.

Kusandarkan kepalanya yang bersimbah darah diatas pahaku. Aku mengecup keningnya sambil menangis. Air mataku mengalir deras. Darah segar terus mengucur dari lukanya. Aku tak ingin kehilangan ia, yang aku rasakan kini hanyalah ingin ia selamat. Aku tak peduli darah melumuri pakaian dan tanganku. Aku meminta tolong orang-orang untuk menggotongnya menuju mobil kami. Aku panik, bunda panik. Kami menuju kerumah sakit terdekat.

Ditengah perjalanan, Kak Arif sadar. Dan ia hanya mengucapkan dua kalimat syahadat kemudian mulutnya terkatup rapat juga matanya. Ia tersenyum dalam tidur panjangnya. Aku menjerit sejadi-jadinya. Aku memeluknya erat. Kuperiksa detak jantungnya, sudah tak ada. ‘innalillahi wa inna lillahi roji’un’ pekikku dalam hati. Aku terus mendekapkan kepalanya didadaku. Aku masih belum mengerti ini. Baru kemarin kami dipertemukan, dan akhirnya kami dipisahkan.

xXx

Seharusnya aku menyirami Lilyku. Namun hatiku masih sakit tak terperi. Aku kehilangan seseorang yang menjadi separuh jiwaku. Sudah seminggu Kak Arif meninggal. Sudah seminggu pula aku tak berminat makan. Akupun tak sekolah selama seminggu ini. Padahal UAN akan diselenggarakan dua minggu lagi.

Pintu berderit. Bunda masuk membawa nampan untukku yang seharusnya untuk sarapan pagi. aku belum makan. Ada roti bakar, nasi ayam bakar juga segelas susu. Bunda duduk disampingku

“Sayang, sudah seminggu belum makan apa-apa. Memang ndak lapar?” Tanya Bunda prihatin. Aku menggeleng.

“Lihatlah rambutmu, wajahmu, tubuhmu sayang. Wajah nanda terlihat sangat pucat, rambutmu kusam dan acak-acakan. Bunda tahu perasaan nanda. Tapi bukan begini caranya. Bunda yakin, pasti Kak Arif tak akan rela jika nanda seperti ini. Pasti Kak Arif sedih melihat nanda tak menyayangi diri nanda sendiri.” Papar Bunda lembut. Aku memeluk Bunda dan menangis lagi. Setelah puas menangis, aku meminta Bunda dengan manja menyuapiku. Beliau menyuapiku sambil bercerita.

“Lintang kesini terus ketika ia mendengar kabar Kak Arif meninggal. Ia menengokmu terus. Tapi ia tak mau mengganggu ketenanganmu sayang. Ia hanya bisa menatap nanda dipintu, dan hanya didepan pintu. Mungkin nanti ia kesini lagi sekitar jam 4 sore. Ia sedang sibuk dengan tugas dari mamanya katanya.” Tutur Bunda sambil mengarahkan sendok kemulutku.. aku hanya mendengarkan beliau. Kulihat jam, masih jam 2 siang. Setelah selesai makan, Bunda memesanku untuk mandi dan membersihkan tubuhku. Aku pun mengikuti perintah beliau.

Setelah aku membersihkan diri, Lintanng datang. Ia datang lebih awal. Ia membawa sebuah kotak hadiah. Aku penasaran, untuk siapa kotak itu. Ia menghampiriku dan memelukku erat

“Aku tak ingin kehilanganmu, Ly.” Tuturnya menatapku serius. Aku tak tahu maksudnya berkata seperti itu. Ia menyerahkan kotak itu padaku.

“Ini untukku?” tanyaku masih bingung serta penasaran. Ia mengangguk meyakinkanku. Aku buka kotak hadiah darinya dan…

Sebuah jam tangan buatan swiss yang merupakan jam yang selama ini aku dambakan. Aku bahagia tak terukur, aku memeluknya erat sekali.

Kupandangi jam tangan itu, bentuk detiknya, arsitektur seninya, filosofi berliannya, kacanya. Ah, aku sangat bahagia. Lintang sangat tahu membahagiakanku. Ia memakaikan jam itu ditanganku.

“Indah sekali, jam yang sempurna terpasang ditangan seorang bidadari bak permata yaqut.” Paparnya takjub.

“Maaf, akhir-akhir ini aku tak bisa lama-lama menjengukmu. Aku ditugaskan mama untuk menjaga sepupuku yang datang dari Swiss selama seminggu. Namanya Flo. Awalnya aku tak mau. Tetapi mama menjanjikan, jika seandainya aku dapat menemaninya, mama akan menuruti semua permintaanku. Dan benar, aku minta jam tangan ini, untukmu, Ly.” Katanya jujur. Ooh, aku kira jam tangan ini dari Flo untuknya.

“Belajar yang rajin ya. Ngga’ usah memikirkan hal-hal yang aneh penting. Sebentar lagi kan UAN.” Nasihatnya padaku. Aku hanya tersenyum tipis. Aku tahu ia menyindirku dengan ‘hal-hal yang aneh’ itu. Apakah dia cemburu? Aku tak tahu pasti.

xXx

“Jika sudah selesai, silahkan keluar dan lembar jawaban ditinggalkan saja dimeja.” Kata pengawas tegas. Aku masih memeriksa jawaban-jawabanku. Aku sudah selesai dan aku keluar dari ruang ujian. Fiuh, akhirnya selesai juga Ujian Nasionalnya. Bagiku, soal-soal kemarin lumayan mudah. Tinggal menunggu pengumuman.

“Gimana soalnya, Ly?” Tanya Lintang saat beristirahat dikantin. Aku menjawabnya dengan anggukan. Kusruput teh botolku. Ia meneruskan makan mie ayamnya. Aku memikirkan kuliahku besok. Aku telah bersepakat dengan Lintang akan melanjutkan ke Universitas tertua di Indonesia yang berada di Jogja. Untuk pemilihan jurusan, kami menyerahkan pada pribadi sendiri. Aku sih ingin mengambil komunikasi dan jurnalistik. Kalau tidak salah Lintang ingin mengambil psikolog.

xXx

“Lily…. Kita lulus….” Teriak Lintang dari kejauhan menghampiriku. Aku bersyukur pada Allah.

“Selamat ya, kamu jadi best student, jadi siswa teladan, nilai kamu tertinggi lagi, aku dibawah kamu deh.hehe..” kata Lintang dan memelukku. Aku menepuk-nepuk bahunya.

“Besok jadi ke Jogja kan?” Tanya Lintang. Aku mengangguk pelan. Aku jadi teringat peristiwa itu lagi, aku menundukkan pandangan. Sejurus kemudian aku mendongakkan kepala lagi, aku tak ingin Lintang mengetahuinya. Namun, aku tak bisa menyembunyikan apapun dari sahabatku yang satu ini.

“Udah, ngga’ usah jadi sedih gitu dech. Kan ada aku.” Kelakarnya. Aku mencubit lengannya. Ia menggodaku lagi. Aku pura-pura marah padanya. Ah indahnya, selamat tinggal SMA…

xXx

“Lintang, kita diterima jadi mahasiswa. Kita harus syukuran. Kita jajan bebek kremes deket Malioboro nanti malam. Aku traktir dech.” Kataku girang.

“Yaaa…masa cewek yang nraktir, wibawaku bisa runtuh kalau kaya’ gitu. Tapi boleh, aku lagi belajar irit nie.” ungkapnya jujur.

“Yee, ya udah tar aku jemput dikost kamu. Dah ye, aku mau kebengkel, nyuci si ‘violet’ dulu.” Kataku berpamitan sambil menunjuk mobil jazz kesayanganku.

“Oce bos. Aku tunggu.” Katanya sambil memberi hormat padaku. Aku melambaikan tanganku. Kami berpisah Aku menuju ke bengkel yang letaknya lumayan jauh dari kampus.

xXx

malam ini langit terlihat sangat cerah. Ribuan bintang-bintang ynag menghiasi malam mampu mengubah kesedihan dunia tanpa cinta. Temaram puluhan juta lampu dibumi menciptakan keindahan tersendiri. Bulan yang terlihat tersenyum manis menatap bumi. Alunan melodi angin yang memainkan ujung dedaunan lembut. Semilirnya mampu membuat setiap orang-orang senang bermalas-malasan. Aku memilih jeans pensil dan juga kaos dagadu serta tak lupa kau membawa jaket oleh-oleh Bunda dari Malaysia.

Nada sms dihandphoneku memekik. Ada sms dari Lintang. Aku tengah bersiap-siap kekostnya.

“mlm, Ly. Jd kemalioboro g’?” tanyanya. Kubalas smsnya.

“Jd-lah. Bntar yo. Wait me.”

Ku ambil kunci mobil dan jam tangan pemberian Lintang yang tergeletak diatas meja belajarku. Aku meluncur cepat dengan ‘violet’ku. Sambil kunikmati lagu ‘Lubang Dihati’. Setelah melewati belokan aku sampai ditempat kost Lintang. Rupanya ia telah menunggu didepan. Aku kaget dengan penampilannya. Sangat rapi, celana jeans panjang dipadu dengan blouse panjang berwarna biru. Dibaju bagian punggung, terdapat tulisan artistic, tak terlalu jelas. Ia

Aku segera menghampirinya. Aku dikagetkannya lagi. Ia mengeluarkan motor ninjanya.

“Bukannya kita naik mobilku?” tanyaku penasaran. Ia tersenyum kecil.

“Sekali-kali kita naik motorku ya. Masa’ kita sahabatan udah lama, kamu ngga’ pernah naikin ‘green’ku.” Ungkapnya sambil menunjuk motor ninja hijau disebelahnya. Aku tersenyum. Untung tadi aku memakai celana jeans, jadi tak susah untuk membonceng. Aku membenarkan pernyataannya, meskipun aku sahabatnya aku tak pernah sekalipun menaiki motornya itu. Padahal, banyak gadis disekolahku dulu ingin sekali menikinya bersama Lintang tentunya. Tapi memang Lintang itu misteri, ia tak pernah pacaran selama aku mengenalnya. Aku mengangguk tanda setuju. Aku minta ijin padanya untuk memakirkan ‘violet’ku didepan kostnya. Aku segera memakirkannya.

Lintang tersenyum melihatku. Aku menghampirinya dan bersiap-siap membonceng. Ia memberikan helm ninja agar aku pakai.

“Cocok, dan sangat cantik. Terimalah helm itu, dijaga yach.” Ungkapnya jujur. Aku mengangguk pelan. Kami berangkat. Lintang menggodaku, awalnya ia mengerem mendadak, karena aku tidak pegangan apapun, hampir saja aku terpelanting dan terjatuh, ia minta maaf dan memintaku untuk berpegangan.

Akhirnya aku pegangan jok motor. Lintang tersenyum ketika melihatku berpegangan pada jok bawah motor. Aku baru merasakan naik motor kali ini. Fiuh, aku sempat berdiri saat membonceng. Lintang hanya tersenyum melihatnya. Tak terasa, setelah lumayan jauh aku terbawa suasana bersama sobatku itu. Sekarang aku berpegangan pada pinggang Lintang.

Setelah sampai, aku turun dan segera memesan dua porsi bebek kremes beserta sambal dan tak lupa lalapannya. Kami duduk tepat dipinggir jalan. Kulihat sekitar warung, ramai sekali. Memang pada jam-jam segini mahasiswa mencari makan malam dan banyak lagi orang yang ingin menikmati suasana malam di Malioboro. Aku melahap daging bebek dengan lahap.

“Lily, sebentar.” Ucap Lintang. Aku memandangnya penasaran. ia menghilangkan sebutir nasi yang melekat didekat mulutku. Aku tersenyum simpul mengetahui kecerobohanku.

Setelah kami selesai makan, aku membayar makanan. Lintang mencegahku, ia bersikeras ingin membayar. Dan percecokan yang lucu antara kami pun tak bisa dihindari. Kami menjadi pusat perhatian orang-orang yang sedang makan. Akhirnya aku mengalah, jadilah Lintang yang membayar makanan kami.

Aku ngambek sama Lintang. Dan ia tahu itu.

“Ya sudah, sebagai gantinya. Kamu beliin aku es cream kesukaanku. Oke?” katanya menawariku. Aku kembali tersenyum dan mengangguk tanda setuju. Kami berputar mencari supermarket untuk membeli es cream coklat kesukaanku dan kesukaan Lintang. Setelah mendapatkannya kami pulang, kami pulang pada pukul setengah 10 malam. Karena kemalaman, aku diantarnya pulang. ‘violet’ku ditinggal dikost Lintang. Katanya besok ia akan mengantarkannya, ia yang membawa ‘violet’ku. dan sebagai gantinya, aku besok harus mengantarnya pulang.

xXx

Ku lihat Anacardiaceae diseberang tempat parkirku. Sedang berbuah rupanya. Ciri khas tumbuhan ini dapat dilihat dari bentuk buahnya. Buahnya mirip dengan mangga, tetapi jelas bukan. Namun tumbuhan ini masih satu spesies dengan mangga, dan termasuk suku tumbuhan dikotil.

Warna merah muda bunga anggrek dendrobium tak seperti perasaanku. Hari ini aku dalam OSPEK terakhir. Ah, hari yang pastinya akan melelahkan seperti kemarin. Mammillaria, ya perasaanku sekarang seperti kaktus jenis itu yang jantungku berdegup kencang karena membayangkan betapa beratnya OSPEK-ku kali ini.

Setelah penyiksaan dari senior-senior, kuharap nanti mereka semua pada minta maaf. Karena pada ospek kemarin, ada pengumuman yang sangat menjengkelkan, kami para mahasiswa baru harus memecahkan lebih dari satu teka teki yang diberikan oleh senior yang galaknya tak terkira itu. Aku harus membawa ‘Roti Gaul’ entah apa itu. Kemudian membawa ‘Buah Malang’ dan lagi ‘Ratu Perak’, air mineral ‘6T’, ballpoint temannya Goku ‘dragonball’, buku cover naruto isi 58, dan yang paling aneh, permen Relaxa rasa asam. Ah memangnya ada relaxa rasa asam. Ada-ada saja senior itu.

Lintang memberitahuku tentang teka-teki itu. Katanya, ‘Roti Gaul’ itu adalah roti Trenz, lalu ‘Buah Malang’ adalah apel, dan ‘Ratu Perak’ adalah Silver Queen, kemudian air mineral ‘6T’ adalah air mineral VIT, kemudian ball point temannya Goku ‘dragon ball’ adalah ball point Zai ‘Picollo’. Lalu, relaxa rasa asam adalah bungkus relaxa yang diisi dengan permen gulas. Dan juga kami disuruh memakai kalung yang diuntai dari bawang merah, bawang putih, bunga kamboja dan sebagai bandulnya dari kelapa yang berbentuk segitiga sama sisi, berukuran 10 cm setiap sisinya. Kemudian diselingi dengan sedotan plastik berwarna merah putih, yang digunting berukuran 3 cm. dan juga membuat gelang dari karet dan akar-akaran.

Tak cukup itu, kami disuruh membuat papan nama dari kardus kosong yang bertalikan tali kenur dengan sisi depan sebagai nama buatan jawa dan sisi belakang adalah nama asli. Lalu rambut kami khusus mahasiswi, harus dikuncir sejumlah 22 buah. Untung sebelumnya, Bi Atik disuruh Bunda untuk membantu persiapanku. Dan aku tinggal bersama Bi Atik beserta suaminya.

Jam 07.30 kami apel kelapangan dan mendaftarkan nama kami masing-masing. Aku tak bersama dengan Lintang, kami beda fakultas jadi tempatnya pun juga berbeda.

Mulailah penderitaan mahasiswa-mahasiswa baru. Mungkin memang para senior mencari-cari kesalahan kami walau sekecil apapun itu.

“Semua jaket dan tas dilepas! Dan taruh semuanya di loker masing-masing!! Dan hanya boleh membawa satu buku dan ball point yang telah diperintahkan sebelumnya.” Terang seorang senior dengan keras.

“Dek, kalungmu mana? Kenapa tidak dipakai? Ini kan hari terakhir, kenapa masih membangkang? Kenapa jaketmu belum dilepas juga? Sekarang pakai kalungmu, dan kerjakan perintah senior tadi.” bentak salah seorang senior padaku. Aku kaget bukan kepalang. Ku raba kantung jaketku, aku ambil kalungnya. Dan segera aku pakai kalung itu. Aku berlari menaruh tas dan jaketku.

“Kamu dihukum, meminta tanda tangan Kak Jupiter. Dia sedang berada di lapangan basket bersama mahasiswa psikologi.” Tutur senior yang membentakku tadi. Ah, aku bisa bertemu dengan Lintang nanti. Aku segera menuju ke Lapangan untuk meminta tanda tangan Kak Jupiter. Ku lihat Lintang sedang push up, mungkin ia sedang menerima hukuman dari para senior. Aku mencari seseorang yang memakai tanda pengenal yang bertuliskan Jupiter. Aku sempat bertanya pada senior-senior lain, mereka mengerjaiku. Mereka membuatku berputar mencari tak karuan dan tibalah aku melihat seoorang senior yang kelihatannya baik, ku hampiri ia. ia akan memberitahu tetapi dengan syarat aku harus berdansa dengan kerangka di Lab biologi di lantai dua. Ah, awalnya aku tak mau tapi apa boleh buat. Aku bersamanya naik di lantai dua untuk berdansa dengan kerangka dan ia ingin melihat kelucuanku. Awalnya aku ragu. Ia tersenyum mengejek melihatku. Aku berdansa dengan kerangka dengan perasaan jengkel. Setelah selesai aku berdansa dengan kerangka, ia berkata bahwa dialah Kak Jupiter. Kemudian aku meminta tanda tangannya. Ia tak mau, ia memberi syarat lagi, katanya aku harus berteriak mengatakan ‘aku cinta kak Jupiter’. Bah, apalagi ini. Cintaku hanya untuk Kang Arif, meskipun ini hanya seperti bercanda aku tak mau main-main dengan kata cinta. Aku memintanya agar mengganti dengan syarat yang lain. Katanya, kalau tak mau teriak, aku harus mau mencium kucing yang kebetulan lewat di depan kami. Karena aku adalah orang yang suka dengan kucing, aku memilih mencium kucing daripada berteriak mengatakan ‘aku cinta padanya’. Setelah aku mencium ia memberikan tanda tangannya untukku, karena aku masih jengkel aku pergi tanpa berterima kasih padanya. Aku segera menuju ketempatku semula. Aku menyerahkan tanda tangan Kak Jupiter itu. Aku dihukum karena aku tak berterima kasih pada Kak Jupiter. Huh, aku semakin jengkel pada Kak Jupiter itu. Mulutnya seakan ingin aku sumpali dengan lap. Masa begitu saja harus laporan sama senior yang memegangku. Aku disuruh kembali menghadap Kak Jupiter untuk mengucapkan terima kasih. Kulihat jam tanganku, hampir jam sebelas. Tetapi teriknya matahari semakin membuatku berpeluh. Aku segera menuju ketempat Kak Jupiter. Sekitar jarak kurang dari lima meter, Kak Jupiter telah menungguku. Ia tersenyum puas menatapku. Rasa jengkelku semakin bertambah.

“Makasih ya Kak, buat tanda tangannya.” kataku ketus. Ia tersenyum lagi.

“Kamu dihukum.” Katanya datar. Hah, aku dihukum lagi. Pekikku dalam hati padahal sebentar lagi waktu istirahat.

“Kamu dihukum kenalan sama aku sekalian aku minta nomer handphone kamu.” Ungkapnya.

“Kenalin, aku Jupiter, ambil MIPA.” Katanya sambil menjulurkan tangannya.

“Lily. Puas?” kataku ketus menjabat tangannya. Kulepaskan jabatat tanganku, ia masih tak mau melepaskan tanganku.

“Bicaranya yang manis dong. Kalau ngga’ manis. Aku ngga’ akan nglepas tanganmu.” Katanya masih memegang tanganku. Aku mengibaskannya. Tak bisa, cengkramannya sangat kuat. Apa boleh buat.

“Namaku Lily, kak.” Ucapku pura-pura lembut.

“Nah gitu dong. Kalau gitu kan terlihat cantik.” Katanya tersenyum simpul. Ia melepaskan jabatan tangannya. Aku berlalu pergi tanpa menghiraukannya.

“Tunggu de’ Lily. nomer handphone kamu mana? Apa perlu aku laporan sama Kakak yang memegangmu?” tanynya mengancamku. Kutulis nomor handphone di buku yang aku bawa, dan kusobek kemudian aku menyerahkannya. Kemudian aku pergi tanpa berpamitan dengannya.

Jam 15.00, OSPEK resmi ditutup. Sebelumnya para senior meminta maaf atas kekerasan dalam mendidik para mahasiswa baru. Huh, aku belum bisa memafkan mereka. Pekikku dalam hati.

xXx

Nada dering handphoneku menjerit. Malam-malam begini siapa yang menelpon, gerutuku dalam hati. Aku kan harus istirahat agar besok bisa bangun pagi. Badanku capek sekali setelah OSPEK hari ini. Ah, mengganggu nikmat orang saja. Kulihat jam bekerku, menunjukkan pukul 11.30 malam. Aku mengerjapkan mataku. Ku ambil handphoneku yang tergeletak diatas meja samping tempat tidurku.

“Hallo, assalamu’alaikum.” Sapa orang diseberang sana.

“Hallo, wa’alaikumsalam.” Jawabku lemas sambil sesekali memejamkan mata karena saking ngantuknya.

“Ngantuk kah de’? masih inget ngga’ yang tadi OSPEK menghukum kamu?” tanyanya bersemangat.

“Hem…iya…siapa ya?” responku masih mengantuk. Aku berbicara dengan memejamkan mata.

“Masyaallah, ini Jupiter. Masih inget kan de’ Lily?” ucapnya lagi. Aku sedikit tersadar dari kantukku.

“Ya, kenapa Kak Jupiter? Ada yang bisa Lily bantu? Ngomongnya yang cepet ya. Lily ngantuk banget nie, capek lagi. Mau segera bobo.” Ungkapku jujur.

“Ya, masa suruh cepet. Aku kangen marahmu itu, Ly. Jangan tidur dong.” Katanya.

“Kalo’ ngga’ ada yang penting, mending ngga’ usah telpon deh. Dah ya aku mau tidur dulu. Malem kak. Met bobo.” Kataku mengakhiri pembicaraan. Kumatikan handphoneku, agar tak ada yang mengganggu lagi.

xXx

jam bekerku berdering nyaring. Ah, mataku masih berat sekali untuk bangun. Tapi aku sudah menyusun agendaku hari ini, bisa berantakan kegiatanku jika aku tak menepatinya. Akhirnya kusibakkan selimutku dan bersegera berwudhu serta sholat.

Setelah sholat subuh, ku nyalakan hpku. Ku tinggal mandi dan sarapan. Bi Atik sudah memasak. Bi Atik selalu bisa bangun pagi. Katanya sih, untuk sholat malam. Setelah bersiap, aku berpamitan Bi Atik. Ku ambil hp blackberryku diatas meja rias serta kunci ‘violet’. Ada banyak pesan yang masuk.

“Wah, jahat bener de’ Lily ini. Masa’ telponnya dimatikan? Ade’ masih marah ya soal tadi pas OSPEK? Aku minta maaf dech… bls.” Sms dari Kak Jupiter.

“de’… bls smsnya dong…” smsnya lagi sampai lima kali.

Ada juga sms dari Lintang.

“Ly, bsk jadi ke Parangtritis bareng kn?”

“Yupz.. ni q mw ket4 km. tnggu yow…” balasku

Aku segera beranjak kekost Lintang. Aku ada keperluan mengurusi perlengkapan, serta administrasi kuliah. Seminggu lagi, aku sudah bisa memulai belajar.

Ternyata Lintang telah menungguku dari tadi. Ketika aku sudah sampai didepan kostnya ia langsung menghampiriku. Karena pintu mobilku diciptakan otomatis, ku bukakan pintu untuk Lintang hanya dengan memencet tombol khusus yang digunakan untuk membuka pintunya. Setelah ia masuk, kukunci pintunya dengan kunci otomatis pula, lalu kunyalakan AC mobil dan mp3 player.

Lintang menceritakan tentang OSPEK kemarin. Ceritanya, ia dihukum push up. Disuruh menyanyikan lagu Indonesia Raya dengan hormat dan mengangkat salah satu kakinya. Aku terpingkal-pingkal mendengar ceritanya. Aku juga bercerita tentang aku berdansa dengan kerangka, kemudian aku diputar-putar dan dibuat pusing hanya ingin mencari tanda tangan senior.

Nada yang menunjukkan sms masuk dihpku berbunyi. Aku membiarkan nadanya sampai habis. Aku tak berminat membuka dan tak berniat melihat siapa yang sms. Aku mempunyai firasat bahwasannya yang sms tidaklah menyangkut hal-hal yang penting.

“Kenapa smsnya ngga’ dibuka, Ly?” Tanya Lintang. Aku menggeleng menjawabnya. Aku terus melaju menuju kampus.

Ku parkirkan violet dibawah pohon damar yang menurutku aneh tumbuh di Kampus. Kulihat disekitarnya ada Amaryllidaceae. Dan ada banyak burung pipit yang kemudian terbang karena kami mengusik kegiatan mereka.

Aku segera menyelesaikan urusanku. Lintang menungguku di tempat parkir. Ia tengah asyik membaca buku hafalan sholat delisha. Aku membiarkannya.

Setelah urusanku selesai, aku menghampiri Lintang yang sedang tersenyum-senyum membaca bukunya. Aku mengajaknya segera pergi. Aku masuk mobil. Tiba-tiba…

“Tunggu de’ Lily.” Seloroh seseorang yang membuat kami kaget. Kak Jupiter ternyata. Kubuka jendela mobilku.

“Kenapa Kak?” kataku lembut.

“Mau kemana de’?” tanyanya mendekatiku.

“Ke Parangtritis. Mau ikut?” tanyaku.

“Boleh. Tapi ganggu ngga’?” ungkapnya. Aku menggeleng. Ku buka pintu belakang mobil. Aku menyuruh Lintang menemani Kak Jupiter duduk di belakang. Kulihat ada gurat sendu di wajahnya. Tetapi aku tak tahu artinya.

Ku lajukan violet dengan kecepatan 80 km/jam. Ku hidupkan radio. 94,4 fm. Ku dengar, suara seorang yang sedang membaca Kitab Suci Al-Quran. Suaranya merdu sekali, suaranya mampu menelanjangi hatiku yang penuh dengan dosa. Aku sempat meneteskan air mata ketika mendengarnya. Aku ingat ibuku. Karena aku tak sanggup mendengarnya, aku matikan.

“Kenapa dimatikan, Ly?” Tanya Lintang padaku, kulihat diwajahnya da gurat kesedihan. Mungkin ia merasakan hal yang sama denganku.

“Tadi bagus banget suaranya.” Tambahnya lagi. Aku menggeleng tak mau meneruskan untuk mendengarkannya. Ia paham, ia juga tahu aku sedang menangis dalam hati.

Tak berselang lama, kami sampai ditempat tujuan. Setelah sebelumnya ku parkirkan mobilku, aku turun dari mobil. Lintang keluar dengan berlari menuju pintu masuk. Ah, ia sudah kangen mungkin dengan panorama parangtritis. Ku ajak Kak Jupiter masuk ketempat wisata. Tak sengaja, ia menggandeng tanganku. Aku memandanginya. Kemudian, ia melepas pegangan kami. Ia tersipu malu.

Banyak orang berlalu lalang. Ku lihat Lintang sedang berdiam diri, memandang jauh diseberang laut. Entah apa yang sedang dipikirkannya. Aku berjalan menyusuri pinggiran pantai bersama Kak Jupiter. Kami bercerita tentang pribadi kami masing-masing. Dari perbincangan itu, aku mengetahui bahwasannya ia adalah jelmaan dari Jupiter yang aku kenal dulu. Aku kaget bukan main. Ia juga tak percaya dengan hal itu. Ia bercerita tentang pondok pesantrennya dulu, tentang kisahnya dulu. Aku mendengarkannya dengan seksama. Katanya juga, ia menganggap Dwi Tika hanya sebatas adiknya saja. Tak lupa, aku menyampaikan permintaan maafku tentang sikapku dulu. Ia tak menganggapnya, katanya lagi ia sudah memafkan aku sebelum aku minta maaf. Ia juga bercerita tentang keluarganya yang tinggal di Kalimantan sekarang. Bercerita tentang ketidaksependapatannya dengan faham pondoknya itu, makanya ia meneruskan kuliah disini. Aku tak bercerita banyak. Hanya sekedar menjawab pertanyaannya. Ia melangkah maju mendekati bibir pantai. Aku lihat Lintang, ia tengah berbincang asyik dengan seorang pria yang mempunyai jenggot tipis di dagunya. Yang memakai celana panjang diatas mata kaki mirip seperti Kak Jupiter dulu. Aku tak ingin mengganggu perbincangannya dengan orang itu. Ku susul Kak Jupiter mendekat bibir pantai. Kak Jupiter menggandeng tanganku. Aku tak menganggapnya, aku memandang lautan yang luas, memandangi awan-awan berarak mengitari bumi.

Setelah kurasa cukup sore, aku mengajak Kak Jupiter pulang. Aku mencari Lintang, ia tak kelihatan. Aku semakin bingung. Kak Jupiter menenangkanku. Ku coba mencari Lintang lagi. Aku kelelahan. Kak Jupiter memberi saran agar aku menelpon Lintang. Aku lupa, aku sedikit lega. Ku ambil handphoneku ditas. Masyaallah, ternyata Lintang telah berpamitan dengan mengirim sms. Ia telah pulang terlebih dulu. Dan Lintang bilang, ia minta maaf. Minta maaf untuk apa, tanyaku dalam hati. Ia tak akan sering menemuiku lagi. Aku bingung, namun aku lega karena ia telah pulang.

Kak Jupiter menawarkan agar ia yang menyetir mobil. Katanya aku kelihatan kelelahan. Aku hanya manut saja. Kak Jupiter mengantarkanku sampai ke villa tempatku tinggal. Aku menawarinya agar ia diantar suaminya Bi Atik. Tetapi ia menolak. Ku bilang, jam segini susah mencari angkutan menuju ke kampus. Ia tetap menolak, katanya ia bisa naik trans jogja di halte yang terletak tak jauh dari sini. Aku tak bisa memaksanya, dan aku hanya bisa memesannya agar berhati-hati. Ternyata ia masih seperti Jupiter yang aku kenal, baik dan ramah.

Aku bergegas membersihkan tubuhku dari keringat-keringat yang seharian melumuri pakaianku. Aku mandi dengan air hangat yang dicampur dengan sedikit garam. Kata Bi Atik, bisa mngurangi rasa capek dan pegal.

Setelah bersih dan setelah sebelumnya sholat, aku menelpon Lintang. Lama sekali, ia tak mengangkat dengan segera teleponku. Tak biasanya ia seperti ini. Aku coba lagi dan lagi. Tak ada jawaban sama sekali. Biasanya ia sangat respon bila aku menelponnya, terkadang bila aku hanya miscall ia balik menelpon. Namun tidak kali ini. Aku coba lagi, sekarang nomornya tidak aktif. Ah, aku merasa Lintang menjau dariku. Aku tak tahu apa itu benar, namun itu yang kurasakan saat ini.

Aku lelah menunggu jawabannya. Aku menelponnya sampai aku terlelap tidur. Aku bermimpi. Lintang melambaikan tangannya, aku menangisi kepergiannya. Namun ada senyumdan janji yang menandakan ada kebahagiaan setelah kesulitan di wajah tampannya. Aku hanya pasrah. Aku tak tahu arti mimpi itu. Aku terbangun, dan aku mengerjakan sholat tahajjud.

xXx

Cahaya matahari menerobos masuk melalui celah jendela kamarku yang telah kubuka sejak ba’da subuh tadi. Ku lihat burung pipit yang hinggap di dahan pohon mangga di depan villa. Mangganya sedang berbuah, belum masak, tetapi warna buah yang meranum itu membuat orang ingin segera memetiknya. Aku mau mencoba menelpon Lintang. Tetapi, ada sms dari Kak Jupiter. Kak Jupiter juga sempat manelpon, namun karena aku mengaktifkan profil diam, aku tak mendengar ada telpon atau sms dari siapapun. Aku juga tengah asyik bermain dengan laptopku tadi. Aku menelpon Kak Jupiter.

“Hallo, assalamu’alaikum, kak.” Sapaku terlebih dulu.

“Wa’alaikumsalam. Kenapa tadi teleponnya ngga’ dijawab? Sms juga ngga’ dibalas?” tanyanya.

“Oh, maaf kak. karena aku mengaktifkan profil diam, aku tak mendengar ada telpon atau sms dari siapapun. Aku juga tengah asyik bermain dengan laptopku tadi. Sekali lagi maaf kak. By the way, ada perlu apa kak?” terangku lembut.

“Oo, gitu yach? Ya udah ngga’ apa-apa kok. Nanti malam ada acara ngga’?” tanyanya lagi.

“sepertinya ngga’ ada. Kenapa je?” tanyaku balik.

“ngga’ apa-apa de’. Cuma mau nawarin, bisa temuin kakak di Café Malibu jam delapan malam. Kakak mau ngobrol-ngobrol sama ade’.” Ungkapnya pelan.

“Ya, insyaallah.” Jawabku singkat.

“Ya sudah. Assalamu’alaikum.” Ucapnya menutup pembicaraan. Wa’alaikumsalam ucapku dalam hati.

Aku masih mencoba menghubungi Lintang tetap tak bisa.

Tadi, aku sempat melihat dan berpapasan dengan Lintang. Ia menunduk seakan tak pernah mengenaliku. Aku sempat heran dengannya. Jika aku melihatnya lagi, aku akan menanyakan sikapnya. Aku sudah berbicara lewat sms tak ada respon. Aku coba email, tetap tak ada titik jawaban.

xXx

Ku lihat jam tangan pemberian Lintang. Hampir pukul 19.30. aku segera menuju ke Café Malibu yang terletak di terminal lama dekat SMP IT.

Ku arahkan pandanganku, mencari Kak Jupiter. Aku dikejutkan dengan seseorang yang yang mengajakku ke lantai paling atas. Aku mengikutinya penasaran. Setelah sampai dilantai paling atas yang merupakan lantai yang paling mahal sewanya, karena atap dibuat dengan kaca yang transparan, sehingga orang yang melihatnya seakan melihat langit secara langsung, seakan-akan tak ada kaca yang menghalanginya. Sinar rembulan masuk memantul. Terlihat bintang seakan malu, seperti aku sekarang. Ku lihat Kak Jupiter berdiri menunggu kedatanganku. Ini terlalu berlebihan pikirku. Aku kira hanya sekedar makan malam biasa.

Aku menuju ke kursi untuk duduk. Aku mendengar alunan biola yang sangat menawan. Mula-mula pelan namun sekarang sudah sangat jelas. Kak Jupiter mempersiapkan kursi untukku. Ah, terima kasih kuucapkan dengan melempar senyum hangat padanya. Ia juga kemudian duduk. Dimeja yang terlihat sangat bergengsi ini ada sebuah nampan yang berisi setangkai bunga mawar dan secarik pesan welcome. Ku cium bunganya, hemm…wangi sekali. Ku tatap Kak Jupiter, ia melemparkan senyuman yang indah padaku, aku membalasnya dengan ucapan terima kasih. Ada dua gelas cantik yang telah dituangi minuman berwarna merah menyala. Kak Jupiter mengajakku bersulang.

Selang kemudian, datanglah seorang pelayan yang membawakan bingkisan, berisi sebuah boneka love juga boneka beruang berwarna pink, masih ada lagi, dua batang coklat silver queen. Aku kaget menerimanya. Kami makan malam berdua dengan iringan melodi biola yang merdu itu.

Kemudian, Kak Jupiter memanggil seseorang untuk membuka atap kaca itu. Aku tak tahu kalau kaca itu bisa dibuka. Setelah dibuka, Ku lihat gumpalan-gumpalan yang berupa asap membentu kata…

I love you

Lily…

Aku tak tahu apakah aku sedang bermimpi atau tidak. Namun aku yakin ini kenyataan. Aku lemas. Ia menyuruhku kembali duduk. Aku duduk. Ia meyakinkanku tentang apa yang aku lihat barusan. Ia ingin agar aku menjadi kekasihnya. Aku melambung tinggi. Dan aku menjawabnya dengan anggukan yang terlihat seperti malu. Ia berjingkrak-jingkrak kegirangan. Aku tersenyum melihatnya begitu bahagia. Kemudian ia mengangkatku. Oh, aku takut jatuh kataku padanya. Namun ia tak peduli. Setelah aku agak memaksa, ia menurunkanku. Kemudian ia memelukku erat. Aku merasakan kebahagiaannya. Namun aku masih ragu dengan rasaku. Ada yang aneh dan ganjil. Namun aku tak terlalu memikirkannya, aku larut dalam kebahagiaan Kak Jupiter.

Aku pulang diantar Kak Jupiter. Ia terlihat sangat bahagia rupanya.

xXx

Aku semakin penasaran dengan sikap Lintang. Ia terlihat semakin menjauhiku. Teman-teman mulai mempertanyakan keadaannya. Aku hanya menjawab, mungkin ia sedang sibuk dan belum ingin diganggu. Aku sendiri saja tak tahu kenapa ia menjauh dariku.

Kak Jupiter makin lengket saja denganku. Namun, tak begitu denganku. Aku mulai hambar dengan hubungan ini. Aku semakin bingung dengan keadaan ini. Saat ini, aku merindukan Lintang disampingku. Dan aku juga merasakan, Lintang juga sangat rindu denganku. Namun entah mengapa, tiap kali aku bertemu, pasti ia seakan menghindar dariku.

Aku mulai tak tahan dengan sikap Lintang. Tanpa ia sadari aku mengikuti dan melihat tiap-tiap kegiatannya. Sampai-sampai aku harus berbohong pada Kak Jupiter untuk ini. Hari ini hari ahad.

Dari kostnya, setelah ia berangkat aku mulai bertanya dengan teman-teman yang satu kost dengannya. Kata mereka, sekarang Lintang sudah berubah. Kata mereka, ia menjadi anak yang rajin, sholeh, jadi semakin alim. Dan kata mereka, tadi ia akan pergi mengikuti ta’lim jama’ah salafy yang diselenggarakan di masjid Al-Hikmah. Sepertinya aku tahu letak masjidnya. Setelah sebelumnya berpamitan, aku segera menuju kesana.

Aku mengintai gerak-gerik Lintang dibawah pohon mahoni dipinggir jalan. Aku dapat melihatnya dengan leluasa disini. Ia memang benar-benar mengikuti kajian disini. Sekarang, pakaiannya berubah drastic. Ia memakai celana panjang di atas mata kaki, seperti yang seorang pria yang kulihat di Parangtritis dulu. Ia memakai baju gamis, sejenis baju yang panjangnya hampir selutut.

Sekitar ba’da dzuhur, ia keluar dari masjid mengendarai motor ninjanya. Aku merasakan hal aneh dalam dirinya. Berarti, ia memang benar-benar menjauhiku. Tak sengaja, aku hidupkan radio. Ada bacaan kitab suci seperti dulu. Seorang anak kecil dengan suaranya yang mampu melihat semua dosa-dosaku. Aku kembali menangis mendengarkannya. Kalu tak salah dengar, nama pembacanya adalah Muhammad Thoha. Hatiku semakin gelisah tak karuan. Aku pulang.

Setelah aku sampai, aku menunaikan sholat dzuhur dengan linangan air mata. Tak pernah kurasakan sebelumnya damainya jiwa seperti yang aku rasakan sekarang. Aku mengadu di keharibaan-Nya yang agung.

“Ya Rabbi, aku hanya manusia yang hina. Bagaimana kau mengaku beragama islam tetapi aku tak pernah menjalankan perintah-Mu. Ya Allah ampuni aku yang telah melalaikan-Mu.” Doaku yang mengiris hatiku sehingga membuka bendungan air mataku. Aku terus beristighfar lirih, agar Allah mengampuni semua dosa-dosaku.

xXx

Jam bekerku berdering pukul 03.00 pagi. Aku bangun dan segera menunaikan shalat tahajjud. Meski kepalaku seakan ditancapi ribuan paku, aku tak ingin ketinggalan waktuku bersama Rabb-ku. Hari ini aku akan kerumah, seorang guru privat yang mengajarku dulu. Namanya Bu Anissa, beliau mungkin dapat membantuku menyelesaikan rasa gelisahku ini.

Setelah selesai sarapan, aku segera kerumah beliau. Rumahnya di Jl. Veteran no.12 Jogjakarta. Ya, aku masih ingat itu.

Setelah sebelumnya kuparkirkan mobilku di depan rumah beliau, aku mengetuk pintu. Pembantu yang membukakan pintu, beliau sedang mengajar anak-anak seusia SD. Aku sabar menunggu di ruang tamu. Setelah kira-kira satu jam aku menunggu, beliau tersenyum menghampiriku. Ah, senyumnya mengalirkan aura keibuan. Aku segera menceritakan apa yang membuatku gelisah sekali. Beliau mendengarkan dengan baik dan seksama. Sikap yang jarang dimiliki orang, yaitu menghargai ucapan orang lain. Beliau menyuruhku untuk mengerjakan sholat istikharah. Beliau memberikan saran agar aku mengikuti ta’lim di masjid Ibnu Taimiyyah yang berada tak jauh dari sini, tiap ahad. Aku tak keberatan. Dan aku berpamitan pulang.

xXx

Burung pipit yang bertengger diatas pohon mangga depan villa bersenandung riang. Gumpalan awan putih berarak menjauh. Sinar matahari masuk menerobos lubang-lubang di jendela kamarku. Ku sibakkan gorden yang sedari tadi malam menutupi jendela. Ku buka jendela, wussh… angina menerpa wajahku, sejuk sekali. Hari ini hari Ahad, untuk pertama kalinya aku pergi ta’lim di masjid Ibnu Taimiyyah. Aku segera menyiapkan diri.

“Bi Atik, tolong buatkan sarapan. Sebentar lagi saya mau pergi. Omelet ya Bi, sama teh hangat. Saya mau mandi dulu.” Kataku pada Bi Atik.

“Siap, neng.” Jawab Bi Atik yang kudengar pelan dari kamar mandi.

Setelah mandi, aku memakai baju. Ah, ini kan mau ta’lim. Aku harus pakai kerudung, masa’ ta’lim ngga’ pake’ kerudung. Untung Bunda meninggaliku beberapa potong kerudung yang kunilai berukuran sangat besar. Warnanya biru tua, coklat tua, ungu tua dan juga hitam. ah masa’ anak muda pakai kerudung warna gelap. Tapi sudahlah, aku tak punya yang lain selain ini. Kupilih warna biru tua dan ku padukan dengan rok biru dengan baju lengan panjang berwarna biru muda. Ah, terlihat sangat anggun. Aku tak pernah melihat diriku sendiri memakai kerudung. Cantik sekali pekikku dalam hati. Aku menuju lantai bawah untuk bersarapan.

“Masyaallah, ini neng Lily bukan? Cantik sekali. Anggun lagi.” Kata Bi Atik yang sedikit mengagetkanku. Aku tersenyum simpul mendengar pujiannya. Aku malu, aku malu berkata islam padahal aku masih belum menjalankan perintah-Nya. Allah, ampuni aku. Doaku dalam hati.

“Neng mau pengajian? Wah, Bibi seneng dengernya. Nanti Bibi kabarin nyonya ah.” Kata Bibi berlalu kedapur.

“Wah, jangan Bi Atik. Lily malu.” Teriakku tersipu malu.

“Nggak papa, neng. Pasti nyonya seneng banget.” Ungkap Bi Atik.

“Awas kalau Bibi berani mengadu sama Bunda. Aku akan marah sama Bibi.” Ancamku pada Bi Atik.

“Ya deh. Jangan marah ya, neng. Bibi sayang sama neng.” Kata Bibi sambil mencuci piring. Aku memulai sarapanku setelah sebelumnya aku membaca basmalah.

Setelah selesai, aku segera menuju kegarasi untuk mengambil mobil dan segera berangkat. Aku tak sabar sampai ke masjid Ibnu Taimiyyah. Aku memilih jalur yang tak terlalu ramai, ini masih sangat pagi menurutku. Jadi tak mungkin jalan macet. Aku menyusuri jalan-jalan yang masih lengang. Terlihat beberapa orang sedang menikmati waktu joggingnya. Ada juga yang sedang beristirahat ditaman. Karena kurasa jalanan masih bisa untuk melaju dengan kecepatan tinggi, ku lajukan mobilku dengan kecepatan 100 km/jam.

Dering sms dihpku menjerit keras. Ah, siapa lagi, gerutuku dalam hati. Ku kurangi kecepatan mobil. Ku buka sms, dari Kak Jupiter.

“Assalam. Lg dmn de’? Da wktu bwt jln g’? mau ke Candi Borobudur?” smsnya. Ku balas…

“Al-‘afwu. G’ bisa. Lily ada acra.”

Ya Allah tetapkanlah hati ini pada satu jalan yang dapat mempertemukanku dengan-Mu disurga-Mu, doaku dalam hati. Aku tak mau mengotori pencarianku.

Setelah kutempuh perjalanan yang memakan waktu sekitar setengah jam, akhirnya aku sampai di masjid Ibnu Taimiyyah. Ku parkirkan mobilku dekat took buku ‘Az-Zahra’. Terlihat banyak akhwat dan ikhwan yang berlalu lalang. Disini, kebanyakan akhwat memakai cadar dan memakai jubah berwarna gelap. Ah, aku tak salah memakai baju dan kerudung ini. Aku menelpon Bu Anissa.

“Hallo, assalamu’alaikum.” Sapa Bu Anissa.

“Hallo, Wa’alaikumsalam. Bu Anis dimana? Saya sudah berada dipelataran parkir. Disini banyak akhwat. Bisa jemput saya disini? Didepan took buku ‘Az-Zahra’.” Terangku pada beliau.

“Ya mbak. Sebentar lagi saya jemput kesana. Tunggu ya mbak. Assalamu’alaikum warohmatullah.” Kata beliau mengakhiri pembicaraan. Aku menjawab salamnya dalam hati.

Selang tak berapa lama, ada seorang akhwat yang memakai jubah berwarna merah hati serta bercadar dengan purdah yang hampir menutupi mukanya menghampiriku, mungkin Bu Anissa, beliau juga bercadar. Ya, memang benar, ialah Bu Anissa. Beliau menyalamiku, dan segera mengajakku masuk kedalam masjid. Sebentar lagi, kajiannya akan dimulai. Aku hanya menurut saja.

Aku memasuki masjid. Banyak akhwat yang telah berada disana. Ah, aku jadi malu. Hampir sebagian dari mereka telah bercadar. Wajah para akhwat itu seakan bersinar. Mereka sangat ramah padaku, yang merupakan murid baru. Mereka menyalamiku satu persatu. Bahkan, beberapa dari mereka mencium pipiku. Ah, begitu ramahnya mereka. Tak kulihat sikap yang banyak orang salah mengalamatkan pada mereka, wanita yang begitu istiqomah menjalankan perintah Allah. Kata banyak orang mereka tak suka bergaul, juga tak sudi memakan makanan kondangan. Ah andai orang-orang tahu hukumnya dan andai mereka melihat betapa baik dan ramahnya mereka.

Kajian dimulai, aku membuka buku dan peralatan tulis, yang ku beli kemarin. Kajian ini bertemakan tentang kewajiban seorang wanita untuk mengulurkan jilbabnya. Dan Allah berfirman tentang itu dalam Q.S An-Nur ayat 31 :

“Katakanlah kepada wanita yang beriman, ‘Hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak daripadanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung kedadanya dan janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudar laki-laki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan terhadap wanita, atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman, supaya kamu beruntung.’” Seketika hatiku bergetar hebat, hatiku menemukan kedamaian yang belum pernah kurasakan sebelumnya, air mataku meleleh perlahan. Aku menangis tak bersuara.

Teman, manakala kita sudah ikhlas menerima perintah Allah, maka hati kita akan lembut merasakan kebaikan dari siapapun. Inilah yang aku rasakan sekarang. Hendaklah diingat,

“Katakanlah, ‘Api neraka jahannam itu lebih sangat panasnya; jikalau mereka mengetahui.”(Q.S At-taubah:81). Aku kembali meneteskan air mata. Ya Rabbi, betapa hinanya hamba-Mu ini. Kemanakah aku dulu? Kemanakah aku dulu sehingga baru sekarang aku merasakan nikmatnya hidayah-Mu.

Aku dulu juga sempat berdiskusi dengan beberapa wanita teman-temanku. Kebanyakan dari mereka tidak berjilbab karena alasan-alasan yang konyol. Temanku, namanya Rose. Katanya, ia belum mantap, lain kali saja. Belum mantap, belum siap, menunggu Allah menurunkan hidayah sampai terbukalah hatinya. Inilah jawaban yang sering ku dengar dari teman-teman. Sebenarnya kalau belum siap, apa yang membuat mereka tak segera bersiap? Tidak siap dalam hal apa? Umumnya, mereka tidak siap karena memang menyengaja untuk tidak bersiap, atau mereka tak mempersiapkan persiapan untuk menjadi sangat siap. Atau mereka menunggu dipanggil oleh Malaikat Izroil? Na’udzubillah, aku ngeri mengingat hadits yang kudengar dari Bunda, kebanyakan yang masuk neraka jahannam adalah para wanita. Karena mereka tak banyak bersyukur, dan juga bagi para wanita yang berpakaian tapi telanjang.

Ada juga alasan yang kedua, yaitu belum cukup umur. Alasan ini sering diungkapkan mereka yang merasa bahwa hidup di dunia itu hanya sementara dan hanya sekali, makanya mereka memanfaatkan untuk have fun saja. Apakah mereka tak sadar maka dari sebab itulah Nabiyullah bersabda, bekerjalah seakan-akan engkau hidup selamanya, dan beribadahlah engkau seakan-akan engkau mati esok. Apakah kita yakin bahwa besok kita dapat bersua dengan Ayah Bunda kita, atau bersua dengan saudara-saudara kita, atau bahkan dengan teman-teman kita? Tentulah kita tak dapat memastikan itu sama sekali. Hanya Allah tempat kembali. Justru, melatih menggunakan jilbab harus dimulai diawal usia. Ketika anak-anak masih menggemaskan. Sehingga ketika dewasa, ia tak akan berpikir untuk melepas jilbabnya.

Kemudian alasan, orang tua tidak mengijinkan. Jikalau memang benar seperti itu, maka perlu dicari alasan kedua orangtua mengapa melarang putrinya berjilbab.

Kemudian alasan yang agak dibuat-buat adalah karena cuaca panas. Ya Rabb, betapa orang yang beralasan seperti ini adalah keterlaluan. Bagaimana jika kita bandingkan panas di bumi dengan panas nerak jahannam? Bukankah kita hanya bisa menangis meratap? Meminta ampunan Allah? Apakah Allah Yang Maha Kuasa akan sudi menerima kita, yang hanya mempunyai amalan sangat sedikit sekali, apakah kita bisa menjamin bahwa amalan-amalan yang telah kita lakukan akan dpat diterima oleh Allah? Tentu tidak, Allah hanya akan menerima amalan dengan dua syarat, pertama ikhlas dan yang kedua adalah sesuai dengan tuntunan Nabi SAW. Adalah seperti debu yang berterbangan apabila amalan kita tak sesuai dengan tuntunan Rasulullah, begitupun sebaliknya, bagaimana Allah dapat menerima amalan kita apabila kita hanya berniat mencari penghargaan dari orang lain, agar kita dipuji. Atau karena adanya orang lain, sehingga apabia dilihat kita seperti orang yang alim? Na’udzubillah. Semoga Allah melindungi kita semua dari itu. Apabila kita telah ikhlas, hanya mengharap wajah-Nya, maka tak ada alasan lagi untuk tidak berjilbab.

Aku semakin tak karuan. Seakan-akan aku terpojok di masjid ini. Ya Allah, ampuni Lily.

Penjelasan selanjutnya adalah tentang hukum cadar. Adalah sebagai wajibnya seorang wanita tidak memperlihatkan wajahnya kecuali dengan mahromnya daoat dilihat dari kisah fitnah yang terjadi pada Ummul Mukminin ‘Aisyah ra. Kemudian, karena kecantikan wanita adalah bersumber dari wajah maka untuk menghindari fitnah para wanita diwajibkan untuk bercadar. Wallahu a’lam.

Jam menunjukkan hampir pukul 11. kajian sudah selesai. Aku segera berpamitan pada Bu Anissa, karena aku ingin membeli baju-baju panjang dan beberapa potong kerudung. Aku telah memantapkan hati untuk menunaikan kewajibanku sebagai perempuan. Beliau tersenyum dan mengucapkan hamdalah atas keputusan yang aku pilih. Aku juga banyak berterima kasih pada beliau.

Setelah ku ambil mobilku dari pelataran parkir, aku segera melesatkan mobilku menuju ke sebuah toko muslim yang menjual pakaian-pakaian muslim dan perlengkapan lainnya. Ku beli beberapa rok panjang dan baju lengan panjang beserta jilbab yang lebar dan panjangnya hampir sepaha. Aku hampir menghabiskan uang satu juta. Tetapi pasti Bunda bangga dengan ini. Jum’at depan aku berencana untuk pulang ke Solo.

Setelah kurasa cukup aku berbelanja, aku pulang sekitar jam 3. Handphoneku berdering, telepon dari Kak Jupiter. Masyaallah, aku begitu menikmati hidayah ini, sampai-sampai aku hanya membawa hpku tanpa memeriksanya apakah ada telepon atau sms masuk.

“Hallo, assalamu’alaikum. Ada apa Kak? Ada yang bisa Lily Bantu?” sapaku.

“Wa’alaikumsalam. Urusan ade’ sudah selesai belum? Kakak nungguin ade’ dari tadi. Jadi ke Borobudur kan?” tanyanya

“Em…gimana ya Kak. Sepertinya Lily ngga’ bisa nemenin. Lily capek mau istirahat je.” Jawabku mencoba beralasan.

“Oh, gitu ya. Ya sudah. Kakak juga ngga’ maksa kok. Kapan-kapan aja kan bisa. Ya sudah. Met istirahat ya de. Jangan lupa berdoa sebelum tidur. Love you. Wassalam.” Ungkapnya terdengar sangat kecewa. Wa’alaikumsalam pekikku dalam hati. Maaf Kak, aku tak bermaksud untuk menjauhimu, namun andai engkau tahu apa yang kurasakan kini.

xXx

Pagi yang tak terlalu cerah rupanya. Kabut tebal menutupi pemandangan, sehingga apabila aku tak berhati-hati maka aku bisa saja kecelakaan dijalan raya. Aku masih punya waktu banyak untuk sampai ke masjid Ibnu Taimiyyah. Hari ini adalah yang kesekian kalinya aku mengikuti ta’lim. Sekarang aku suda banyak berubah. Aku sudah berjilbab, bahkan sekarang aku sudah berani memakai jubah. Aku masih ingat ketika pertama kalinya aku berjilbab ke kampus.

“Wah, udah insyaf ya Ly. Jupiternya buat aku aja. Hehehe…” canda salah satu temanku.

“Wah, sekarang ngga’ bisa pacaran sama Jupiter dong? Kan di islam ngga’ ada istilah pacaran kan?” Ucap temanku yang lain. Aku hanya nyengir mendengarnya, entahlah untuk masalah Kak Jupiter, aku belum bisa memutuskan. Aku tak mau membuat orang sedih, dan aku tak mau membuat diriku sendiri sedih. Kak Jupiter ternyata sangat mencintaiku, namun aku tak tahu dengan perasaanku padanya. Atau hanya sekedar perasaan yang tak ingin melukai hati orang lain dengan menolak cintanya, aku tak tahu pasti itu.

Aku juga masih ingat ketika aku pulang ke Solo. Untuk yang pertama kalinya aku pulang dengan memakai jilbab. Bunda sampai menangis haru memelukku, menciumiku. Ayah juga, tetapi beliau tak sampai menangis.

Banyak perkembangan yang kudapatkan disini. Hampir setiap hari aku menghafalkan satu ayat Al-Quran. Sebenarnya aku ingin sekali segera menghafalkan lima ayat dalam sehari, namun Murabbi melarang itu. Kita harus istiqomah menghafalkan Al-Quran, dan menghafal tak sekedar menghafal, kita harus tahu maknanya bagaimana cara menulisnya dengan benar, juga mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari.

Aku juga belajar bahasa arob, kemudian tentang akidah, fikih dan seputar akhlaqul karimah. Aku semakin tenang disini. Hari ini kajian dengan mengangkat judul yang baru, yaitu pergaulan antara lawan jenis.

Ya Allah, aku semakin tak kuasa menahan air mata ini. Betapa hinanya hamba. Seakan telah aku berkaca pada sebuah cermin, namun aku terkaget ketika yang kutemukan hanyalah sesosok wajah yang menghitam karena dosa.

xXx

Pohon-pohon bergoyang tertiup angin. Ujung daunnya melambai-lambai. Sejuknya udara yang berhembus memaksakanku untuk menghirup nafas sangat dalam. Aku mengeluarkannya dengan pelan. Segar sekali. Angin bertiup lagi, wussh… udara dengan volume yang banyak menghempas wajahku.

Terik matahari yang kian menyengat kini tak terasa lagi. Karena saking banyaknya tumbuh-tumbuhan disini. Callistaemon Laevis yang sengaja ditanam dipojok pagar, memadukan warna merahnya dengan rumput hijau. Aku sedang duduk memandangi sebuah ganggang yang akan kujadikan objek tulisan. Disela-sela aku menulis, aku menyeruput juice wortel yang telah disiapkan oleh Bi Atik. Aku teringat Lintang, seketika itu aku tak berminat menulis. Aku menulis hanya bila aku sedang ada inspirasi. Aku terhanyut dengan kenanganku bersama Lintang dulu. Tiba-tiba aku merindukannya. Ya Rabbi, astaghfirullah. Aku tak ingin mengotori hati ini. Aku sudah berkeyakinan untuk tidak mengulangnya lagi, dan aku sedang mengumpulkan sejumlah kekuatan untu berucap pada Kak Jupiter bahwasannya aku sudah tak ingin melanjutkan hubungan yang hampa ini selain itu islam juga tak memperbolehkan hubungan ini. Kemungkinan besar ia sudah tahu ilmu itu, kata Bu Anissa akan lebih berdosa apabila kita tahu ilmunya tetapi kita tidak mengamalkannya atau malah kita mungkin melanggarnya.

Aku tersadar seketika. Mungkinkah Lintang telah sadar dengan hal itu. Makanya dismsnya yang terakhir tertulis permintaan maaf untuk sikapnya yang tak akan lagi sering menemuiku. Ya, itulah alasannya. Mengapa aku tak sadar dengan itu. Aku mengambil nafas panjang.

Seakan teraliri seribu joule energi, aku terhenyak. Betapa aku telah membohongi diriku sendiri, betapa munafiknya aku. Aku menerima cinta Kak Jupiter namun cintaku masih terkunci rapat. Dan kini aku membuka pintu hati untuk Lintang. Bukan untuk Kak Jupiter, tapi aku tak bisa berbohong dengan semua kejujuran itu. Air mataku meleleh. Aku tak kuasa menahan beban ini. Sekarang aku harus putuskan dan meminta maaf pada Kak Jupiter sebelum semuanya terlambat. Ya, harus. Ku ambil handphone didekat nampan minuman, ku telepon Kak Jupiter. Aku mmenyuruhnya untu kemari.

Tak selang lama, Kak Jupiter datang bersama kawan dekatnya. Ya Allah, tadi ia tidak menyebutkan akan membawa temannya. Ah, bagaimana ini. Aku berpikir sejenak. Aku bersama Kak Jupiter kekolam belakang dan temannya kusuruh duduk di ruangan tamu.

Aku menggandeng tangan Kak Jupiter dan megajaknya kekolam renang belakang villa. Ya Allah, maaf aku memegang tangan laki-laki yang bukan mahromku. Ini untuk yang terakhir kalinya, desisku dalam hati. Aku mengajaknya duduk. Aku terdiam lama sekali, dan aku tak sanggup mengatakan ini. Rabb, beri aku kekuatan. Aku mendesah panjang, dan tak terasa bulir-bulir air mata mengalir dari pelupuk mataku. Kak Jupiter memandangiku heran.

“Ade’ kenapa? Kalau ada masalah, ngomong saja atau cerita.” Ucap Kak Jupiter cemas. Aku makin tak kuasa. Ya Allah…

“Kak,….” Ucapku lirih. Kak Jupiter dengan antusias mendongakkan kepalanya dan menatapku, aku juga menatapnya. Ah, sorot bening matanya. Rabbi…

“Kak, maaf atas segala khilaf… yang tlah kita lewati…” kataku lirih dengan menahan tetesan air mataku. Aku tak sanggup meneruskannya, tapi Ya Allah, aku harus menyelesaikannya sekarang juga.

“tlah membawa Kakak kedalam jalan…, yang melupakan Allah… kita memang harus berpisah tuk menjaga diri, untuk kembali arungi hidup dalam ridho illahi…” ucapku terbata-bata. Aku sudah tak mampu lagi menahan tangis haruku. Aku lemas, tak sanggup berdiri. Aku jatuh pingsan. Aku melihat dalam ketidaksadaranku, Kak Jupiter panik memanggil-manggil Bi Atik. Bi Atik dan suaminya berhamburan kekolam belakang rumah. Bi Atik menelepon Bunda. Terlihat Bi Atik sangat cemas. Aku terlalu menguras tenaga memikirkan ini semua dan memikirkan keraguan yang ada didalam hati. Aku sudah tak ingat apa-apa lagi.

Aku menghirup udara yang aku sangat mengenalnya, rumah sakit ya rumah sakit. Bau-bauan obat yang amat sangat menyengat. Tensi darahku terlalu rendah, kata dokter yang kudengar berbicara dengan Bunda. Bunda, kejogja. Aku rindu sekali beliau. Kak Jupiter tertidur lelap disampingku, sedang memegang tanganku. Aku tersadar dari pingsanku. Aku melepaskan pegangan tangan Kak Jupiter, ia kaget dan ia meminta maaf karena ia sangat cemas dengan keadaanku. Bi Atik sangat pengertian, meskipun aku tak memintanya. Ketika pakaianku mau diganti dengan pakaian rumah sakit, ia mengerudungiku. Tetapi kerudungnya berbeda dengan yang aku kenakan saat aku pingsan.

Bunda masuk dan memelukku erat. Beliau menangis, ah Bunda, Lily tak sanggup melihat wajah sendu itu, Lily tak sanggup.

“Nanda jangan memikirkan sesuatu melebihi kemapuan yang Allah berikan. Bunda tak ingin kehilangan nanda.” Nasihat beliau, terlihat sebulir air bening membasahi pipinya. Aku juga ikut menangis dan hanya mengangguk pelan ketika Bunda menasihatiku. Ku lihat Kak Jupiter juga seakan meneteskan air mata, namun tak begitu terlihat karena ia menahannya, pantang bagi seorang laki-laki untuk menangis.

xXx

Aku harus dirawat intensif selama tiga minggu di rumah sakit untuk memulihkan keadaanku. Ah, sangat membosankan juga terlalu lam. Aku rindu ta’lim, aku rindu villa, aku rindu teman-temanku juga Bu Anissa. Sudah seminggu lebih tiga hari aku di rumah sakit. Aku merasa sudah baikan. Aku meminta Bunda untuk mengurusi kepulanganku. Beliau tak memperbolehkannya, tetapi aku masih ngotot untuk pulang. Beliau, akhirnya menyetujui dan akan mencoba untuk berbicara dengan dokter. Awalnya, dokter tidak mengijinkanku pulang. Namun, karena Bunda merayu dokter itu akhirnya dokter itupun menyetujui. Tetapi baru besok aku boleh pulang. Ah, 24 jam lagi, itu akan sangat lama.

Membosankan sekali. Bunda mengupaskanku sebuah apel untukku dan juga membuatkan segelas susu hangat. Aku tatap wajah Bunda, beliau sudah sumringah. Sebentar, sepertinya beliau menyembunyikan sesuatu.

“Bunda kenapa? Apa ada sesuatu yang Lily belum tahu?” selidikku. Bunda terlihat salah tingkah. Seakan Beliau menutupinya. Beliau menggeleng ragu. Aku tahu Beliau berbohong. Tapi sudahlah. Aku tersenyum membalas jawaban Bunda. Bunda berpamitan ke kamar mandi umum.

“Aneh, dikamar ini sudah ada kamar mandi, mengapa Bunda memilih kamar mandi umum?” Tanyaku dalam hati. Pintu rumah sakit yang terbuat dari kaca berderit, Suster masuk ke kamarku untuk memeriksa keadaanku.

“Tadi sudah bertemu tuan yang menjenguk nona Lily?” Tanya suster yang membuatku kaget. Jadi ada yang menjengukku tadi. Aku menggeleng pelan.

“Suster tahu namanya?” tanyaku.

“Em… kalau tidak salah, namanya Li…Li….” Jawab suster mencoba mengingat nama seseorang yang telah menjengukku, suster terbata-bata lupa.

“Lintang?” tanyaku mencoba menebak siapa orang itu.

“Ya…ya…ya benar sekali nona.” Jawab suster itu. Setetes embun mengalir ke hatiku. Oh, ternyata Lintang kesini. Hatiku membuncah girang. Jadi, Bunda menyembunyikan ini. Suster berpamitan keluar. Aku persilahkan. Aku kembali beristirahat.

xXx

Hari ini aku pulang dari rumah sakit. Aku serasa meninggalkan rumah selama satu tahun. Aku dijemput ayah dengan mobil kesayangan beliau. Bunda telah membawakan baju ganti, katanya sih baju baru. Sebuah jubah warna coklat tua dengan bordir bunga bertaburan beserta jilbabnya. Masyaallah, indah sekali. Jilbabnya ada cadar dengan purdahnya. Aku langsung memeluk Bunda dengan girang, aku sudah berniat dan ingin segera bercadar. Namun, pantaskah aku memakai ini? Bunda meyakinkanku, aku mengangguk dan menuju ke kamar mandi untuk memakainya. Bunda menuntunku menuju kamar mandi. Beliau membantu memakaikannya. Setelah selesai, aku segera dituntun Bunda menuju mobil kami. Ah, Bunda terlalu mengkhawatirkanku. Padahal aku sudah lumayan cukup merasa baik. Kami menjadi pusat tontonan. Mukaku ditutupi dengan purdah, mungkin itu alasan mengapa kami menjadi objek penglihatan. Namun Bunda menyegerakan langkah kami menuju kemobil. Ternyata Ayah telah menunggu kami dimobil. Beliau tersenyum melihatku berpenampilan berbeda. Biasanya, Bunda duduk disamping Ayah. Namun khusus hari ini Bunda menemaniku duduk di belakang. Tepat pukul 07.00 Ayah segera melajukan mobil menuju villa.

Setelah sampai, terlihat Bi Atik bersama suaminya tengah menunggu kedatangan kami. Bi Atik berlari menuju mobil. Ketika aku keluar, Bi Atik memulukku dan menciumiku. Aku memeluknya erat. Aku kangeen sekali pada villa. Hari ini hari ahad, ada ta’lim nanti jam 08.00. aku meminta ijin pada Bunda untuk pergi ke masjid Ibnu Taimiyyah. Beliau melarangku. Namun, kerinduanku ini sudah tak bisa dibendung lagi. Aku rindu suara lantunan ilmu. Aku memelas pada Bunda, beliau bersikeras melarangku, begitupun juga ayah. Namun, pada akhirnya mereka menyutujuinya. Aku girang sekali, aku memanggil Bi Atik untuk mengambilkan tas yang biasa aku pakai ta’lim dan juga kunci ‘violetku’. Ah violet, mula sekarang aku mengendaraimu dengan penampilan yang berbeda.

Setelah sebelumnya, ku ambil violet dari garasi aku bersegera menuju ke masjid Ibnu Taimiyyah. Sekarang, lagu-lagu yang ada didaftar pemutar musik mobilku telah terganti dengan murottal yang dibawakan oleh Syaikh Sa’ad Al-Ghomidi. Aku memutarnya sebagai pengisi waktu luang. Handphoneku berbunyi… ada telepon dari Bunda…

“hallo, assalamu’alaikum.” Sapaku sopan.

“wa’alaikumsalam, nanda hati-hati ya.” Pesan Bunda terdengar agak cemas.

“Iya Bunda. Lily pasti berhati-hati. Barakallahufiikum ya umi.” Celotehku manja.

“Ya sudah kalau begitu. Maaf ya Bunda ganggu konsentrasi menyetir nanda. Assalamu’alaikum.” Kata Bunda mengakhiri pembicaraan.

“Wa’alaikumsalam.” Jawabku.

Tak terasa, aku sudah sampai di pelataran masjid Ibnu Taimiyyah. Kulihat seseorang yang melewatiku. Bu Anissa, ya beliau adalah Bu Anissa. Ku panggil dan kuhampiri beliau. Beliau kaget dengan kedatanganku. Beliau tahu bahwa aku baru saja keluar dari rumah sakit pagi ini. Juga beliau kaget dengan penampilanku yang berubah ini. Aku merasa terlalu berat menahan rindu pada ta’lim. Beliau menyalamiku dan menciumku. Ah, hangatnya seakan yang menciumku adalah Bunda.

Kami segera memasuki masjid untuk mengikuti ta’lim yang akan segera dimulai. Tema ta’lim ini adalah tentang alasan mengapa kta harus bermanhaj salafy. Yang menyampaikannya adalah seorang ustadz yang telah lulus dari Yaman. Meskipun seorang ustadz yang menyampaikan materi, kami tetap mengikuti ta’lim ini. Karena disini hijabnya sangat dijaga. Hijabnya terbuat dari papan kayu yang tingginya hampir tiga meter, sehingga tak ada yang dapat bertindak diluar batas peraturan disini. Aku sangat memperhatikan materi dengan seksama. Setiap kata atau kalimat yang ku anggap penting, langsung aku mencatatnya.

Setelah ta’lim selesai, Bu Anissa mencegahku untuk kembali pulang. Setelah menunggu teman-teman lain pulang, beliau mengajakku duduk. Beliau ingin menyampaikan sesuatu yang sangat penting.

“Dik, seharusnya saya menyampaikan ini sejak beberapa hari yang lalu. Namun karena keadaan yang tidak memungkinkan, saya menunggu hingga saatnya tepat.” Papar beliau lembut. Aku mengangguk pelan.

“Apakah adik sudah siap untuk menikah?” Tanya beliau sangat berhati-hati. Aku kaget dengan pertanyaan beliau. Menikah? Belum pernah aku memikirkannya, bahkan tak sempat aku memikirkan itu. Lalu, jika aku menikah, bagaimana dengan kuliahku? Ah, banyak pertanyaan yang kemudian menggelayuti kepalaku.

“’Afwan bu, mungkin saya harus memikirkan matang-matang persoalan ini. Dan juga saya harus shalat istikharah terlebih dulu.” Jawabku lirih.

“Baiklah, saya memberi waktu adik seminggu untuk memikirkannya dan shalat istikharah. Ini dik biodata ikhwannya” terang beliau sambil menyerahkan sepucuk kertas yang berisi biodata. Aku gemetaran menerimanya.

Setelah lumayan lama, aku berpamitan pulang. Aku terus digelayuti pertanyaan-pertanyaan yang aku tak sanggup mnjawabnya. Aku bahkan merasa tak berani membuka biodata ikhwan itu. Aku merasa tak pantas menerima seseorang itu. Aku merasa masih bodoh. Rabbi, Bantu Lily.

Aku sampai rumah pukul 12.30. aku langsung menuju ke kamar. Aku tak bernafsu makan. Bunda mengingatkanku bahwasannya aku masih dalam proses pemulihan. Jika aku tak makan, maaghku bisa kambuh, bahkan akan semakin parah. Kemarin, waktu dirumah sakit sampai aku muntah dengan darah karena aku tak mau makan.

Aku masih mengenakan mukena, aku selesai sholat istikharah. Pintu berderit sangat nyaring. Bunda masuk kamar membawakan sebuah nampan untuk makan siang. Aku tak bergeming. Aku masih khusyu’ dengan doaku.

Setelah selesai shalat, aku menyempatkan diri untuk makan siang. Aku tak mau membuat Bunda kecewa. Ku ucapkan basmalah terlebih dahulu. Aku habiskan segelas susu dan sayur bayamnya. Tak ketinggalan, jagung yang ada dikuah, aku lahap sekali.

Setelah selesai, aku membawa nampan ke dapur. Entah mengapa aku seperti mengantuk sekali. Aku segera kembali ke lantai atas, aku ingin beristirahat.

“Sayang, mulai sekarang nanda sudah mempunyai kewajiban untuk patuh pada suami nanda. Jangan pernah nanda membuat suami nanda marah, jangan membuatnya tidak kerasan di rumah, jangan pula menentang perintahnya sekalipun nanda merasa tersakiti apabila perintahnya belum keluar dari syari’at. Nanda wajib mengedepankan kepentingan suami nanda, jangan mengedepankan ego nanda. Bunda selalu merestui apabila nanda dalam jalan yang benar.” Nasihat Bunda. Aku terkaget dan bangun dari mimpiku. Wajahku basah keringat. Rabb, pertanda apakah ini. Apakah Engkau menyetujui saya menikah. Aku segera ke kamar mandi cuci muka juga sekalian berwudhu untuk menjalankan sholat ashar.

Aku berdoa meminta kejelasan pemilihan. Ya Allah, sesungguhnya aku memohon pilihan yang tepat kepada Engkau.

Aku tak kuasa menahan tangis.

xXx

Ku dengar sayup-sayup adzan sholat lail. Pukul 02.30 pagi. Udara yang sangat dingin. Dinginnya lantai keramik tak membuatku malas untuk mengerjakan shalat malam. Aku segera beranjak ke kamar mandi, aku ingin shalat istikharah lagi.

Tadi malam, aku bermimpi lagi. Aku sedang dalam prosesi aqad nikah dan sedang melaksanakan walimah. Namun sosok ikhwan itu tak jelas. Yang aku rasa adalah ia sangat dekat denganku dan aku sangat mengenalnya. Ia memakai gamis berwarna putih dengan celana panjang yang tak sampai mata kaki. Subhanallah, aku tak berani menatapnya. Wajahnya bersinar indah. Ketika aku bermimpi sampai, aku mencium tangannya, aku terbangun oleh adzan shalat lail.

Aku sholat lail juga sholat istikharah. Rabbi, tunjukan jalan yang memang telah Engkau takdirkan baik untukku.

Dan aku merasakan rindunya menikah. Allahuakbar. Ya Allah, Bantu hamba. Aku akan mencoba berbicara dengan Bunda. Aku lihat selembar kertas yang berisi biodata ikhwan itu di atas mejaku. Aku belum berani membukanya. Aku harus sampaikan semua ini pada Bunda.

Ku dengar langkah Bunda menuju ke kamar mandi. Ya Allah, beri Lily kekuatan. Aku keluar kamar dan menghampiri Bunda. Aku pastilah terlihat gugup.

Ada apa sayang? Ada yang bisa Bunda bantu?” sapa Bunda lembut. Aku masih belum yakin. Bunda tersenyum, kutatap senyum Bunda, subhanallah menghapus semua keraguanku.

“Em, Bunda baru sibuk ngga’?” tanyaku hati-hati.

“Ngga’ sayang kenapa? Mau cerita? Iya?” tebak Bunda perlahan. Aku mengangguk malu. Aku mengajak Bunda masuk ke kamar. Aku tutup dan aku kunci pintunya. Aku tatap wajah bingung Bunda. Aku ambil secarik kertas yang berisi biodata ikhwan itu dan aku menyerahkannya pada Bunda.

“Kemarin Lily diberi ini Bunda sama Ibu Anissa.” Terangku polos. Bunda mengamati kertas itu dan membacanya. Bunda tersenyum setelah itu menghela nafas panjang. Aku jadi berdebar melihat sikap Bunda.

“Sayang, ini semua terserah nanda. Tanyakan pada diri nanda apakah nanda sudah siap untuk ini semua.” Jawab Bunda lembut. Peluh mulai keluar di sekujur tubuhku.

“Bunda, kemarin Lily sudah sempat beristikharah, dan Bunda tahu jawabannya. Semuanya menyetujuinya. Tetapi Bunda, Lily masih ragu. Kemarin Ibu Anissa mengungkapkan bahwa ikhwan di kertas itu sangat sholeh, perkembangan semangat keislamannya juga sangat pesat. Lily merasa tak sebanding Bunda.” Terangku makin lemah. Bunda memegang erat tanganku.

“Sayang, jika nanda yakin ini baik untuk nanda lakukanlah, dan jika nanda tidak yakin maka jangan kerjakan.” Ucap Bunda meyakinkanku. Bunda mengecup keningku, ku lihat sorot matanya. Sepertinya Bunda menyembunyikan sesuatu. Bunda berpamitan untuk pergi kedapur dan memasak. Aku masih termangu duduk di atas tempat tidurku.

Kutatap lagi secarik kertas yang berada diatas mejaku. Aku gemetaran melihatnya, bahkan keringatku bercucuran ketika akan membukanya. Ku urungkan niatku membuka biodata itu. Handphoneku berdering…

“Hallo, Assalamu’alaikum.” Sapa seseorang diseberang sana. Suaranya sangat lembut dan keibuan. Aku mengenali suaranya, Bu Anissa. Masyaallah, aku harus bicara apa pada beliau.

“Hallo, Wa’alaikumsalam.” Jawabku gugup.

“’Afwan dik mengganggu. Sudah shalat istikharah belum? Cuma mau mastiin aja kok. ‘Afwan jiddan kalau saya mengganggu.” Kata beliau.

“Em, iya bu. Saya sudah beristikharah. Saya juga sudah membicarakan ini dengan ibu saya.” Terangku pelan.

“Terus ada jawaban dik? Bagaimana tanggapan Ibu adik?” Tanya beliau. Aku mulai berdebar. Kurasakan setetes peluh mengalir di wajahku.

“Kemarin saya sempat bermimpi, Ibu berbicara pada saya bahwa saya harus patuh pada suami, kemudian didalam mimpi yang kedua, saya bermimpi sedang melakukan akad nikah dan walimah. Saya sempat membicarakan ini dengan ibu, ibu mengatakan bahwa jika saya yakin itu yang terbaik maka lakukanlah dan apabila saya tidak yakin maka jangan teruskan.” Jawabku.

“Subhanallah, Adik sudah yakin dengan semua ini?” Tanya Ibu Anissa.

“Entahlah bu, saya merasakan bahwa saya dekat dengan pernikahan.” Jawabku jujur.

“Baiklah, jika semua urusan sudah beres maka tinggal atur waktu ta’aruf. Adik maunya kapan? Kalau kemarin saya dipesani suami yang kenal dengan pihak ikhwannya agar tak menunda-nunda. Dan kalau bisa disegerakan.” Terang Ibu Anissa. Aku menghela nafas panjang.

“Bagaimana kalu tiga hari lagi dik?” Tanya ibu Anissa. Aku terkaget, tiga hari lagi. Aku belum persiapan sama sekali. Tetapi aku juga tak bisa menunda-nunda lagi.

“Masyaallah, tiga hari lagi bu? Saya belum persiapan sama sekali.” Jawabku yang tak bisa menyembunyikan kekagetanku.

“Saya tahu adik akan mengatakan itu. Yakinlah dik, semua akan baik-baik saja. Sekarang tinggal tunggu kepastian dari keluarga adik.” Kata beliau. Aku terkaget, Bunda telah berada disampingku. Dan beliau meyakinkanku mengelus-elus bahuku. Sejak kapan Bunda disini, pekikku dalam hati.

“Baiklah bu, tiga hari lagi.” Jawabku memantapkan diri.

“Toyyib, baiklah dik. Terima kasih banyak. Saya akan mengabarkan ini pada suami saya agar segera disampaikan pada pihak ikhwan. Wassalamu’alaikum.” Kata ibu Anissa menutup telepon. Wa’alaikumsalam jawabku dalam hati.

Aku memeluk bunda yang tengah berdiri disampingku. Aku menangis memeluk erat bunda. Beliau menenangku dengan menciumku. Subhanallah, kasih sayangnya tak pernah berubah.

“Yakinlah sayang. Ini semua baik untuk nanda.” Ucap bunda meyakinkanku.

xXx

Bunda menyarankanku agar segera membeli beberapa jubah baru beserta jilbab cadarnya. Aku menyetujuinya, dan kami berbelanja ke salah satu toko muslim di jalan pramuka.

Aku membeli sepuluh jubah beserta jilbab cadarnya. Dan beberapa dari sepuluh jubah itu memiliki hiasan yang sangat anggun dengan payet dan bordir yang menawan. Namun hiasan itu akan terlihat jika pemakainya tidak memakai jilbab, karena hiasan berada dibagian depan sekujur dada hingga perut. Ada juga jubah yang mempunyai rompi dengan motif kotak-kotak yang sangat serasi.

Selama dua hari penuh aku benar-benar mempersiapkan segalanya. Banyak keluarga yang datang untuk membantu proses ta’arufku ini. Rumah didekorasi dan dibuat sedemikian rupa sehingga nampak islami. Mereka juga paham, menyiapkan hijab yang menurutku sudah lumayan sempurna.

Bi Atik juga membantu menyiapkan makanan untuk proses ta’arufku, dan aku memesan agar hidangannya yang sederhana saja. Karena aku yakin orang-orang yang dekat dengan Allah tak suka berlebihan. Tetapi aku tak tahu menu yang akan dibuat esok.

Bunda juga memesan beberapa bouqet bunga segar untuk menghiasi ruang tamu, ruang untuk ta’arufku esok. Ini kan hanya ta’aruf. Belum prosesi akad nikah dan walimah. Aku bingung, namun Bunda menyuruhku tenang.

Aku ingat aku belum membuka biodata ikhwan yang akan berta’aruf denganku esok. Namun, ku urungkan niatku lagi. Aku makin berdebar dan gemetaran jika aku mencoba membuka kertas itu. Aku hanya berdiam diri di kamar saja.

xXx

Aku pejamkan mataku agar besok ta'aruf berjalan lancar. sulit sekali.


for aLL my best friends...
and for Akh Ahmad Katsiron

You Might Also Like

1 comments

Popular Posts

Like us on Facebook

Flickr Images

Subscribe