Sahabatku Matahariku

8:45:00 PM

Suara kokok ayam jantan membuyarkan mimpiku yang tersusun indah samalam. Tubuhku lelah sekali, membuatku malas untuk segera beranjak dari kamarku. Namun kuurungkan niatku untuk kembali bermimpi. Kulihat jam bekerku menunjukkan pukul 04.30. aku belum sholat subuh. Segera kulipat selimut kesayanganku. Aku berjalan pelan menuju kamar mandi pribadiku yang hanya beberapa langkah dari tempat tidurku. Kurasakan dinginnya lantai keramik yang aku pijak.

Kubuka pintu kamar mandi. Deritnya pelan sekali tidak seperti pintu sebelumnya yang sangat berisik bunyinya. Ayah telah memerintahkan Sony untuk mengganti pintu tua itu beberapa waktu yang lalu. Pintunya terbuat dari kaca yang tak tembus pandang. Lantainya dihiasi dengan batu-batu yang sengaja diletakkan untuk menciptakan suasana natural. Aku masuk kekamar mandi untuk mengambil sikat dan pasta gigi. Hiasan bak mandinya terbuat dari pasir, tampak juga bintang laut yang sudah dikeringkan dan kerang-kerang yang tersusun rapi. Dipadu dengan kaca transparan yang memberi kesan elok dan cantik.

Kuambil sikat gigi yang sebelumnya telah kuolesi pasta gigi. Aku menggosok gigiku pelan. Setelah selesai menggosok gigi, aku mengambil air wudhu. Kuambil mukena didalam lemari. Dan aku memulai pertemuanku dengan Rabbku.

Setelah selesai sholat, kusibakkan gorden jendelaku. Kubuka jendelaku dan wuss… angin pagi menyambutuku, dan berebut menyeruak kedalam rongga dada. Kulihat jam, pukul 05.00. aku bergegas mandi dan bersiap sekolah.

xXx

Nada dering HPku menjerit

1 pesan

Diterima

Sms dari Zaza, batinku.

“Asslam. Zahra, tar rapat sblum bel masuk. MENDADAK & PENTING. Tentang MADING.”

“SMS dari siapa ,sayang?” Tanya ayahku.

“Dari temen Zahra, bi.” Jawabku sambil membalas sms dari temanku.

“Nanti dijemput apa naik taksi?” Tanya ayah.

“Nanti Zahra sms Abi saja.” Jawabku singkat.

Kubuka kunci pintu mobil dan melenggang keluar setelah sebelumnya aku berpamitan dengan ayah.

“Hati-hati ya, sayang.” Pesan ayah dengan senyum tersungging di bibirnya.

Aku hany membalasnya dengan senyum simpul. Kulambaikan tanganku sebagai uvapan selamat tinggal pada ayah. Aku berjalan lambat menyusuri teras-teras memanjang di depan kelas. Kulihat taman-taman yang sangat terawatt beserta bunga-bunga yang tersemai indah. Tiba-tiba…bruk…aku terjatuh…

“Eh, afwan ukhti Zahra. Ana buru-buru. Anti sudah ditunggu diruang pengurus MADING. Ada rapat mendadak.” Jelasnya. Kenalkan, yang menabrakku tadi adalah assisten ketua MADING. Orangnya santun, nggak macem-macem, lembut, keibuan wah empat acungan jempol buatnya. Namanya mbak Sandra. Tanganku ditariknya menuju ruang pengurus MADING. Semuanya telah menungguku. Sepertinya semua sedang geram padaku. Terutama ketua, terlihat sekali wajahnya. Menahan marah.

“Ukhti, siapa yang melepas artikel tentang VALENTINE DAY di MADING? Kemarin saya mendengarnya.” Terangnya dengan nada tinggi tapi masih menahan emosi.

“Dan saya mendengarnya langsung dari penulisnya.” tambahnya dengan keras.

Aku paham maksudnya. Ia marah atas sikapku yang mencopot tanpa izin artikel dari MADING, tetapi aku melakukannya bukan tanpa alasan. Aku masih setia dengan diamku, mencari kata-kata yang sekiranya tepat dan mudah untuk dipahami maksudnya. Semua orang yang berada dalam ruangan terdiam memandangku. Mereka juga seperti ingin mendengarkan alasanku.

“Afwan sebelumnya, saya mempunyai alasan yang kuat yang mendorong saya bersikap seperti ini.” Terangku dengan nada datar yang memecahkan keheningan.

“Bukankah agama kita telah melarang kita untuk bertasyabbuh, apalagi dengan orang kafir. Apakah kita tidak malu, kita sebagai salah satu pemberi informasi yang mengendalikan laju pemikiran mereka. Ditambah lagi sekolah kita ini sekolah islam.” jelasku dengan sedikit kecewa pada ketua. Kulihat raut wajah ketua, ia sedang mencerna penjelasanku dan orang-orang terdiam berpikir. Aku dapat membaca sorot wajah mereka semua. Sepertinya hampir semua dapat memahami sikap dan penjelasanku. Aku berpamitan dan bergegas keluar.

“Tadi ditanya apa sama ketua, Zahra?” Tanya sahabatku, Zaza. Ternyata Zaza menungguku dari tadi. Zaza memang sahabat yang baik, ia terlihat ramah selalu dan aku sangat nyaman didekatnya. Aku bersahabat dengannya sejak awal masuk sekolahku tercinta ini. Meski dulu kami belum saling mengenal, tetapi karena orangnya humoris dan ramah membuatku tak bias jauh darinya. Zaza adalah tipikal sahabat yang setia.

Aku hanya menarik ujung-ujung bibirku hingga menjadi senyuman yang indah, yang menandakan tidak ada masalah dan semua baik-baik saja. Dan ia percaya padaku, lantas ia membalas senyumku dengan senyum khasnya yang hanya diberikannya padaku.

XxX

“Zahraaa…aa…” teriak Zaza dari luar kelas. Masyaallah, kenapa lagi dia. Kemarin cerita sambil nangis ditinggal bestfriendnya. Sekarang sudah gembira begitu. Tetapi, syukurlah ia tidak murung lagi karena masalahnya. Ia mencubit pipiku keras. Aduh, ringkikku dalam hati. Aku benar-benar bias merasakan kebahagiaannya, meskipun aku belum tahu gerangan apakah yang membuatnya seperti ini senangnya.

“KKN PPL sudah datang, padahal katanya tahun ajaran baru, baru datang. Tadi aku lihat, salah satu dari mereka. Cakeee..p banget. Orangnya putih, tingginya sekitar 184 cm. dadanya tegap. Ya ampun, Zahra tubuhnya atletis banget. Coba tadi kamu ikut aku wusss…pasti langsung klepek-klepek deh liat dia.” Cerocosnya girang.. aku hanya menaikkan kedua alisku dan mempertemukan kedua alisku. Aku sudah mendengar kabar tentang kedatangan KKN PPL. Namun setahuku baru sekedar observasi.

“Oya, tadi aku sempet memotretnya. Tapi nggak terlalu jelas sih. Ini dia fotonya.” Tambahnya sambil menyodorkan HP PDAnya. Aku amati foto orang yang disebut-sebut sahabatku, yang membuatnya girang tak karuan. Sepertinya aku mengenalnya. Kucoba mengingat. Oya, Yusuf. Yusuf yang sering diceritakan bunda dirumah. Yusuf putra koleganya ayah. Berarti KKN PPL datang dari Universitas tertua di Indonesia.

Yusuf blasteran Turki dan Jerman. Kulit putihnya turun dari ayah dan ibunya. Ia lahir dan dibesarkan di Indonesia oleh teman ibunya. Ibunya asli Turki, disini bekerja sebagai duta. Karena Turki menganut ius soli maka ia

berkewarganegaraan Indonesia. Selain itu karena sangat sibuk, ibunya menitipkannya pada sahabat karibnya. Ia dititipkan sejak umur tiga bulan. Setiap bulan, ibunya menyempatkan diri untuk menengok Yusuf. Ibunya rela berkorban apapun, asal ia tetap bias bertemu dan menatap anak semata wayangnya. Meski harus bolak-balik Turki-Indonesia, ia tetapkan jadwal kunjungannya.. ayahnya asli Jerman. Ayahnya bekerja sebagai pengusaha. Ayah Yusuf sangat dekat dengan ayahku. Bahkan mereka sering disebut saudara kembar. Ayah Yusuf sangat baik kata bunda. Ia menanamkan sahamnya di perusahaan ayah, padahal dulu perusahaan ayah sedang dibayangi dengan collaps. Tetapi beliau percaya pada ayah. Kudengar kabar terakhir dari bunda, Yusuf mendapat beasiswa untuk melanjutkan S2 di Yaman. Bunda sering memujinya, aku hanya manggut-manggut mendengar cerita bunda.

xXx

Pagi ini pemandangan menakjubkan sekali. Kicau burung camar di pohon fillicum milik ayah di depan rumah terdengar nyaring sekali. Belum lagi celoteh Teo, burung beo ayah yang sedang asyik makan sarapannya. Aku segera ke lantai bawah karena ayah dan bunda telah menunggu lama di kamar makan untuk sarapan. Mereka tak akan memulai sarapan sebelum aku ada ditengah-tengah mereka. Mereka sangat menyayangiku, karena aku anak perempuan yang diharapkan mampu mereka didik sehingga dapat meringankan siksa kubur. Terlebih lagi karena aku anak tunggal. Sebenarnya aku mempunyai saudara kembar, namanya Abdullah tetapi Allah telah memanggilnya lewat leukimianya. Semoga engkau bahagia disana saudaraku.

Setelah selesai sarapan, aku berpamitan pada ayah dan bunda. Aku berangkat ke sekolah diantar Sony, supir pribadi keluargaku.

Di sekolah…

Hampir setiap hari zaza bercerita tentang Yusuf. Tentang keluarganya yang dari luar negeri, tentang tempat tinggalnya, sampai-sampai pernah menceritakan kucing peliharaannya. Aku hanya menanggapinya dengan anggukan, dan sesekali mengatakan oya, benarkah itu. Aku sudah tahu banyak tentang Yusuf dari bunda.

“Zahra, sepertinya aku benar-benar jatuh cinta sama kak Yusuf. Caranya berbicara santun sekali, membuat khayalku melambung tinggi.” Suatu hari kata Zaza lesu.

Ah, mulai deh jadi sastrawan picisan. Aku tidak tahu mengapa jika oramg sedang jatuh cinta tiba-tiba menjadi sok puitis. Tapi alhamdulillah, Allah masih menjaga hatiku sampai saat ini.

“Zahra…kok nggak ngrespon gitu. Sebenarnya kamu itu sahabatku bukan sih? Dari dulu jadi pendiam terus. Sahabat kamu lagi kena virus merah jambu nie. Tega nian kau itu.” Celetuknya manja.

“Perlu waktu untuk menafsirkan kemauanmu. Aku takut salah langkah menghadapimu. Aku tak ingin kehilanganmu. Terlebih lagi engkau yang kadang mentraktirku jajan, dan meskipun kau terkadang menyebalkan karena selalu mencubit pipiku. Ha…ha…ha..” jawabku diiringi tawa yang renyah.

XxX

Bel pulang sekolah berbunyi setelah sebelumnya berdo`a aku keluar dari kelas.

“Zahra … tunggu…!” teriak Zaza sambil berlari, terengah-engah menghampiriku. Nafasnya naik turun.

“Tadi aku panggil, ngga’ denger kah?” tanyanya, dengan masih tersengal. Aku hanya menggeleng, tanda aku memang tak mendengar panggilannya.

“Ya, udah lupain aja. By the way, aku boleh kan main kerumahmu? Sudah lama sekali aku ngga kerumahmu.” terangnya perlahan. Aku mengangguk tanda setuju.

“Tapi Zahra mau sms abi dulu ya. Jadi dijemput atau naik taksi.” Jawabku singkat.

“Mbok ya dijemput aja, kan enak. Kalau naik kendaraan umum, udah bayar terkadang panas lagi.” Gumamnya padaku. Aku tak menanggapinya. Aku menulis sms untuk ayah.

“Kenapa abi lama sekali? Tak biasanya seperti ini” Gumamku dalam hati.

Nada dering handphoneku berdering, Ayah memanggil…

“Hallo, Assalamu’alaikum.” Sapaku sopan.

“Hallo, Wa’alaikumsalam. Sayang, mobil Abi sudah di depan gerbang lho. Ditunggu. Assalamu’alaikum.” Kata Abi mengakhiri pembicaraan. Aku menjawab salamnya dalam hati.

“Didepan gerbang. Ah, masa’ sih.” Kataku dalam hati. Aku mengajak Zahra segera menghampiri beliau. Ku mengitari pandangan. Ya, mobil ayah didekat pohon mahoni juga dekat warungnya Bu Mini. Aku segera menghampiri beliau.

Pintu mobil terbuka secara otomatis. Aku terkaget bukan main begitupun juga Zaza. Bukan ayah yang menjemputku. Tetapi sesosok wajah yang Zaza dan juga aku sangat mengenalnya. Yusuf. Kenapa dia yang menjemputku. Aku tak henti-hentinya bertanya dalam hati.

“Ayo masuk. Aku disuruh Om Abdullah kesini menjemputmu, Zahra.” Kata yusuf serambi mengembangkan senyum khasnya. Ku lihat raut muka Zaza, ada mimik kecewa disana. Ia terlihat murung.

Aku meminta ijin untuk menelpon Ayah. Aku menjauh dari mereka.

“Hallo, assalamu’alaikum. Abi, kenapa Yusuf menjemput Zahra?” selorohku dengan nada agak jengkel.

“Wa’alaikumsalam. Sayang, anak yang cantik, memangnya tidak boleh? Toh bagus.” Jawab ayah santai. Aku menghela nafas panjang. Urusan ini akan berbuntut panjang, firasatku.

Aku menutup telepon tanpa salam. Aku masih jengkel.

Aku kembali menghampiri Zaza dan Yusuf. Zaza masih terdiam membisu. Yusuf masih dengan senyum khasnya. Aku mengajak Yusuf segera pergi. Aku juga mengajak Zaza masuk kemobil.

Aku juga jadi diam seribu bahasa pada Zaza. Aku tahu perasaannya. Mungkin, ia kecewa padaku karena ini. ‘Rabbi, aku tahu setelah ini ada kemudahan dan kebahagiaan. Ya Allah, Bantu aku lewati ini.’ Doaku dalam hati.

Ketika kami sudah sampai di pintu gerbang rumahku, Zaza berpamitan keluar dan pulang. Aku sangat kaget, ia sangat marah mungkin. Aku menghela nafas dalam. Aku membujuknya agar tak pulang dulu. Ia tetap tak bergeming, ia ngotot ingin pulang. Aku menawarkan lagi, jika ia menunda kepulangannya, aku akan mengantarnya pulang. Ia diam berpikir, awalnya ia tak mau. Namun, setelah aku membujuknya ia akhirnya mau.

Aku mengajak Zaza masuk kamar. Aku harus berbicara penting. Aku tak ingin terjadi salah paham antara kami berdua. Aku terlalu menyayanginya. Dan aku sangat tak ingin kehilangan sahabat karibku itu. Tak terasa, sebulir air mata menetes perlahan, jatuh membasahi lantai. Aku mengusapnya sebelum Zaza dan siapapun melihatnya.

“Za, ini ngga’ seperti yang kamu bayangkan. Yusuf itu putera kolega Abi. Jadi aku dan dia hanyalah sekedar teman.” Terangku lembut. Zaza menghirup nafas dalam. Seakan ia sedang menanggung beban berat, aku tahu itu. Ia masih diam. Setelah selang yang lama, ia memecah keheningan.

“Ngga’ salah kok. Aku mau pulang.” Kata Zaza datar dan juga pelan. Aku tahu ia masih belum percaya. Aku tak tahu apa yang harus aku lakukan. Rabb, Bantu aku.

Aku mengiyakan ajakannya. Aku segera mengeluarkan mobilku dari garasi. Ketika di dalam mobil, ia juga diam.

“Za, tadi kamu dapat nilai berapa ulangan bahasa daerah?” tanyaku memecah kesunyian. Ia menggeleng. Ya Allah, aku lupa. Ia tidak ikut ulangan karena ia sakit. Aku tak tahu bentuk mukaku saat ini. Aku malu sekali. Sekarang aku diam, aku tak berani mengucap sepatah katapun.

Setelah sampai, Zaza keluar dan ia hanya mengucapkan kata bye untukku. Aku tahu Rabb, ia sangat marah. Padahal biasanya ia mencubit pipiku sembari berceloteh riang, tapi kali ini berbeda.

XxX

Sampai hari ini, Zaza masih marah. Bahkan ia tidak lagi duduk sebangku denganku. Aku rindu tawanya, cubitannya. Rabb, aku harus menyelesaikan ini. Aku tahu itu..

Hari ini aku dijemput Yusuf lagi. Aku tak tahu, kenapa lagi. Dan aku semakin jengkel padanya. Ia tersenyum padaku. Tak kuhiraukan.

Anak-anak masih berlalu lalang. Karena bel pulang baru saja berbunyi.

“Yusuf, kenapa kamu yang menjemput lagi?” tanyaku datar tanpa ekspresi. Ia mengangkat kedua alisnya.

“Tugas dari ayah Zahra kan?” jawabnya dengan membalik bertanya.

“Tapi kenapa harus kamu? Kenapa ngga’ Pak Sopir aja? Kenapa kamu harus mengganggu hidupku? Mengganggu persahabatanku?” tanyaku dengan nada tinggi, aku sudah tak kuat lagi, aku menangis tanpa suara. Ia kaget bukan main. Ku lihat banyak siswa yang memperhatikan kami, dan salah satunya adalah Zaza. Ia memperhatikan seksama. Kami menjadi pusat tontonan. Aku tersungkur tak sadarkan diri.

Dalam ketidaksadaranku, aku dilarikan kerumah sakit. Zaza sangat khawatir, pun juga Yusuf. Aku di UGD. Dan aku masih ingat, ketika kondisiku semakin parah, aku dipindah keruang ICU. Ummi tak heti-hentinya menangis menungguku. Namun, aku senang dalam ketidaksadaranku aku bermimpi sedang bermain di sebuah taman yang sangat indah, yang tak ada duanya. Karena aku tak mau kembali di alam nyataku, aku dalam keadaan koma. Hingga akhirnya, aku mengehembuskan nafas terakhirku.

Ketika itu, Ummi menyerahkan diaryku pada Zaza untuk dibacanya, agar Zaza tahu betapa aku sangat menderita tanpanya.

16 January ‘09

Ry, tak kusangka akan berakhir seperti ini. Zaza terluka dengan kesalahan yang dianggapnya adalah bersumber dariku. Kenapa Ry harus ada Yusuf. Kenapa juga Abi menyuruhnya untuk menjemputku?

Ry, aku tahu setelah ada kesulitan pasti ada kemudahan. Tapi, aku tak tahan dengan jauhnya sahabatku.

Ry, kepada siapa lagi kudedahkan beban ini kecuali pada goresan pena juga kepada Allah.

Ya Allah, aku tahu ini baik. Jadi, tunjukanlah jalan yang terbaik untuk menyelesaikannya.

Amin…

17 January ‘09

Ry,

Apa salahku? Apa salahku sehingga sahabat yang aku sayangi menjauhiku? Apakah dengan Yusuf menjemputku itu merupakan kesalahan yang sangat besar?

Ry,

Aku yakin, aku sanggup menyelesaikan ini. Tapi, tadi siang Zaza pindah bangku dan menjauh dariku. Aku makin tak tahu bagaimana cara mendekatinya.

Ry, apakah menurutmu aku bersalah? Zaza kira aku telah menghianatinya, dengan mencintai Yusuf. Namun ry, aku tak pernah mencintai Yusuf. Aku hanya menyayanginya sebatas adik dengan kakaknya. Bukankah semua orang juga berhak menyayangi dan disayangi? Aku juga sayang Ummi, juga Abi, begitupun juga Yusuf. Apakah itu salah ry?

22 January ‘09

Ry,

Aku makin rindu dengan sahabatku itu. Tapi aku tak bisa menggapainya, merengkuhnya, menjabat kedua tangannya dan meyakinkannya. Aku tak bisa Ry.

Ya Allah, Bantu aku…

30 January ‘09

Sahabatku matahariku…

Zaza, andai engkau tahu betapa pilunya rindu ini…

Hatimu masih mengeras karena luka itu

Aku tak mampu menyentuhmu

Engkau masih kukuh dengan membisu

Za, apakah menurutmu aku bersalah dengan semua ini?

Coba pahamilah…

Telusuri perjalanan yang telah kita lalui

Dengan terjalnya batu, kasarnya jalanan, kotornya debu jalanan…

Namun itu tak melemahkan semangat kita…

Dan kitapun makin saling percaya

Tapi mengapa?

Hanya karena masalah cinta, hanya cinta

Kita jadi hancur lebur

Kita saling menjauh…

Za, aku tahu engkau berhati lembut…

Kulihat Zaza menangis merengkuh Ummi. Kemudian ia merengkuhku, mendekap jasadku yang telah dingin membatu. Dan ia mengecup keningku. Kemudian kulihat, jasadku yang awalnya datar, menjadi tersenyum..

You Might Also Like

0 comments

Popular Posts

Like us on Facebook

Flickr Images

Subscribe