mengenal Aisyah r. a binti Abu Bakar

5:19:00 PM

Biografi Aisyah r.a

Aisyah r.a binti Abu Bakar adalah istri ketiga Nabi Muhammad SAW dan beliau diberi nama julukan ash-shiddiqah “perempuan yang benar dan lurus“ beliau juga dipanggil Ummul Mu’minin dan diberi kunyah Ummu Abdullah, mengikuti nama keponakannya Abdullah bin Zubair. Ada riwayat yang menyebutkan bahwa nama panggilannya adalah Humairoh, tetapi Rasul lebih sering memanggilnya Bintush-Shiddiq putri dari laki-laki yang benar dan lurus.[1]

Aisyah dilahirkan di Mekkah pada bulan Syawal tahun kesembilan sebelum hijrah dan bertepatan pada bulan Juli tahun 614 M yaitu akhir tahun kelima setelah Nabi Muhammad SAW diangkat menjadi Rasul. Aisyah tumbuh dan dibesarkan dilingkungan Arab yang masih murni, sebab ayahnya telah menyerahkannya kepada orang Arab Badui untuk diasuh, beliau diasuh oleh sekelompok Bani Makhzum dan beliau juga tumbuh dan berkembang dilingkungan islam yang ketat dan dalam keluarga yang utuh sebab beliau dilahirkan setelah islam datang.

Pada masa kecilnya Aisyah disusui oleh istri dari Wail Abdul Qu’ais. Wail memiliki saudara laki-laki yang bernama Aflah. Dengan begitu, Aflah merupakan paman sesusuan Aisyah r.a.

Aisyah adalah keturunan dari suku Arab yang terpandang yaitu suku Tayim, bagian dari keluarga besar suku Quraisy yang terkenal berani, suka menolong, berani membela kehormatan diri dan mengedepankan kedermawanan. Bisnis yang dilakukan suku Quraisy didasarkan pada prinsip amanah dan prilaku social mereka didasari oleh kelembutan, suku Quraisy sangat menghormati suku Tayim. Oleh karena itu suku Quraisy mengadakan sumpah setia untuk selalu menolong orang yang teraniaya, meringankan beban orang yang membutuhkan dan membantu kaum yang lemah. Dalam sejarah sumpah setia itu dikenal dengan nama Half al-Fudhul.

Ayah Aisyah adalah Abu Bakar ash-Shiddiq, nama asli Abu Bakar Ash-Shiddiq adalah Abdullah, sedangkan ibunya bernama Ummu Rauman. Dari pihak ayah maupun ibu, Aisyah temasuk suku Quraisy -Bani Tayim dari Abu Bakar dan Bani Kinanah dari Ummu Rauman. Nasab Aisyah dari ayahnya adalah Aisyah binti Abu Bakar ash-Shiddiq bin Abu Quhafah ‘Utsman bin Amir bin Umar bin Ka’ab bin Sa’ad bin Tayim bin Murrah bin Ka’ab bin Lu’ai bin Fihr bin Malik, sementara nasab dari ibunya adalah Aisyah binti Ummu Rauman binti Amir bin Uwaimir bin Abdu Syams bin Ganam bin Malik bin Kinanah. Jelas bahwa keturunan Abu Bakar ash-Shiddiq bertemu dengan garis keturunan nabi Muhammad SAW pada kakek yang ketujuh yaitu pada Murrah bin Ka’ab sementara dari pihak ibu nasbnya bertemu dengan Rasulullah pada kakeknya yang kesebelas atau kedua belas. Oleh karena itu, Aisyah berasal dari keturunan yang mulia.[2]

Aisyah mempunyai saudara kandung laki-laki yaitu Abd. Ar-Rahman, dua saudara tiri laki-laki yaitu Abdullah dan Muhammad dan dua sudara tiri perempuanyaitu Asma’dan Umm Kulsum. Aisyah banyak mewarisi anasir kebanggaan bangsa Arab yang ada pada suku Tayim. Beliau juga berpegang dalam sikap permusuhan pada sendi-sendi kepemimpinan dan kemuliaan yang merupakan prinsip bagi keturunan bani Tayim.

Orang-orang jenius biasanya telah menampakan tanda-tanda kejeniusan mereka sejak kecil, baik dalam perkataan maupun perbuatan. Masa kecil mereka seakan-akan menandakan masa depan yang cemerlang, masa ketika mereka akan melahirkan prestasi-prestasi besar.begitu pula dengan Aisyah, tanda-tanda kemuliaan,keagungan dan kebahagiaan telah tampak pada gerakan serta tingkah lakunya pada masa kecil. Tetapi Aisyah kecil tetaplah seorang bocahyang tidak bias lepas dari dorongan-dorongan naluriyahnya. Beliau sangat suka bermain, mainan yang paling disukai olehnya adalah boneka dan ayunan. Akan tetapi, Aisyah bukan anak kecil biasa, beliau mengingat dengan baik apa yang terjadi pada masa kecilnya, termasuk hadis-hadis yang didengarnya dari Rasulullah SAW . Beliau memahami hadist-hadisttersebut, meriwayatkannya, menarik kesimpulan darinya serta memberikan penjelasan-penjelasan tentang detail-detail hukum fiqih yang terkandung didalamnya. Dan menjelaskan hikmah-hikmah dari peristiwa yng dialaminya pada masa kecil. Aisyah bahkan mampu mengingat dengan baik ayat al-qur’an deang baik yang didengarnya ketika sedang asyik bermain.

Aisyah menikah dengan Nabi Muhammad SAW pada umur 6 tahun dengan menerima mas kawin sebanyak 400 dirham. Sebelum dipinang oleh Nabi Muhammad sebenarnya Aisyah telah bertunangan dengan Jabir bin Muth’im bin Adi. Tetapi Abu Bakar tidak mau membatalkan pertunangan itu secara sepihak tanpa terlebih dahulu membicarakannya dengan keluarga Jabir. Maka Abu Bakar pun pergi menuju kediaman Muth’im bin Adi ayah Jabir. Ketika itu, keluarga Jabir belum memeluk islam, akhirnya Aisyah pun dinikahi oleh Rasulullah, ketika itu Aisyah adalah seorang gadis cilik yang masih kekanak-kanakan yang baru berusia 6 tahun. Tujuan paling mendasar dari pernikahan ini adalah untuk mengukuhkan hubungan antara kekholifahan dan kenabian.

Iklim Arab yang panas memang menyebabkan perkembangan fisik perempuan berlangsung dengan cepat. Tetapi disisi lain, pribadi-pribadi cemerlang yang memiliki bakat dan potensi tinggi untuk mengembangkan kemampuan intelektual mereka, biasanya juga cenderung untuk mencapai kematangan fisik lebih cepat daripada orang-orang biasa. Keputusan Nabi Muhammmad untuk menikahi Aisyah pada usianya yang sangat dini itu menunjukan bahwa kecerdasan, kematangan dan kedewasaan berfikir Aisyah memang mencapai sebuah tingkat yang mengagumkan.

Pernikahan itu sendiri berlangsung secara sederhana, Ummu Athiyah mengisahkannya dengan sangat indah.”Rasulullah datang meminang Aisyah binti Abu Bakar yang masih kanak-kanak. Ketika itu Aisyah sedang bermain, tiba-tiba pengasuhnya datang dan memegang tangan Aisyah lalu mengajaknya pulang. Sebelum dinikahkan, Aisyah terlebih dahulu didandani dan diberi hijab, setelah itu barulah Abu Bakar menikahkannya dengan Rasulullah SAW.

Rumah yang didiami Rasulullah saw bersama Aisyah r.a bukanlah sebuah istana yang besar dan megah. Rumah ynag beliau tempati bersama para istri beliau lebih tepat dikatakan sebagai kamar-kamar dan ruangan-ruangan kecil diperkampungan Bani Najjar, disekeliling Masjid Nabawi. Diantara kamar-kamar itu, ada kamar milik Aisyah yang terletak disebelah timur masjid dan pintu sebelah barat kamar Aisyah ini terletak didalam Masjid Nabawi sehingga masjid itu seakan-akan menjadi serambi ruangan.[3]

Luas kamar Aisyah kira-kira enam atau tujuh hasta, dindingnya terbuat dari tanah liat, atapnya yang terbuat dari pelepah daun kurmasangat rendah sehingga setiap orang yang berdiri dapat menyentuhnya. Bagian luar kamar itu dilapisi dengan sejenis minyak untuk mencegah rembesan air hujan, daun pintu kamar Aisyah hanya satu buah yang terbuat dari kayu junifer atau kayu jati.

Tahun-tahun terakhir masa kekuasaan Mu’awiyah adalah masa-masa terakhir pula dari kehidupan Aisyah, ketika itu usia Aisyah 67 tahun. Ia mulai menderita sakit pada bulan Ramdhan tahun 58 H.[4]

Aisyah meninggal dunia pada malam tanggal 17 Ramadhan, seusai sholat witir pada tahun 58 H, bertepatan dengan bulan Juni tahun 678 M.[5]

B. Sejarah dan latar Belakang Pendidikan

Bangsa Arab tidak memiliki tradisi akademis yang bagus, menuntut ilmu merupakan kegiatan yang kurang disukai oleh kalangan laki-laki apalagi perempuan. Ketika islam datang, hanya belasan orang yang mampu membaca dan menulis salah seorang diantara mereka ialah perempuan yaitu Syifa’ binti Abdullah al-Adawiyah.

Pengembangan dan penyebaran kemampuan baca tulis adalah salah satu berkah dunia paling penting yang dibawa islam. Itulah persembahan dari islam bagi seluruh umat manusia, salah satu bukti yang memperlihatkan islam dalam hal itu adalah peristiwa yang terjadi setelah perang Badar. Ketiak Rasulullah memerintahkan para tawanan perang yang tidak memiliki harta benda untuk menebus mereka dengan mengajarkan kemampuan menulis pada anak-anak Anshar. (HR. Ahmad, Baihaqi dan Hakim)

Diantara istri-istri Rasulullah hanya Hafsah dan Ummu Salamah yang bias membaca dan menulis, Hafsah mempelajarinya dari Syifa al-Adawiyah. (HR. Abu Daud, Ahmad, Baihaqi dan Ibnu Abi Syaibah)

Ayah Aisyah, Abu Bakar merupakan orang Quraisy yang paling dalam pengetahuannya tentang geneologi dan syair Arab. Karena itu syair yang digubah oleh para penyair islam untuk menjawab ejekan para penyair kaum kafir Quraisy selalu terlebih dahulu dikonsultasikan kepada Abu Bakar.

Aisyah tumbuh dibawah asuhan ayah yang luar biasa. Dalam banyak hal Aisyah menyerupia Abu Bakar, tetapi persamaan yang paling menonjol diantara mereka adalah kecerdasan otak dan kematangan fikiran. Kecerdasan Aisyah tidak bias dibilang berada dibawah kecerdasan Abu Bakar, bahkan bisa dikatakan bahwa Aisyah tidak berada dibawah siapapun –laki-laki maupun perempuan- yang hidup pada masanya dalam kecepatan berfikir. Kemampuan memahami serta penguasaan terhadap apa yang berada didalam pikirannya.

Dalam bidang sastra dan geneologi Aisyah juga belajar dari ayahnya. Ia tercatat memiliki hasrat yang kuat untuk mempelajari sejarah bangsa, keluasan pengetahuan Aisyah tampak dengan jelas dalam caranya berbicaradan mengungkapkan gagasan. Ia dikenal dengan gaya bahasa yang indah yang tidak mungkin dimiliki oleh siapapun tanpa menguasai warisan tradisi bangsa Arab dari sumber-sumber aslinya. Aisyah mewarisi kemampuan ayahnya dalam bidang sastra dan syair. Dari ayahnya pulalah Aisyah mewarisi perasaan yang halus dan bakat yang luar biasa.

Aisyah baru merasakan pendidikan akademis yang sebenarnya ketika ia mulai kehidupan berumah tangga bersama Rasulullah. Ia mulai belajar menulis dan membaca termasuk memmbaca Al-qur’an, diluar semua itu kemampuan menulis dan membaca sebetulnya merupakan bagian dari pembelajaran dari sifat lahiriyah, Aisyah diberkahi dengan kesempatan dan kemampuan yang sangat besar dalam mempelajari ilmu-ilmu yang esensial itu, tidak saja dalam ilmu-ilmu agama Aisyah juga mempelajari ilmu-ilmu sejarah, pengobatan dan sastra.

Urwah menyatakan tidak pernah kulihat seseorang yang pengetahuannya seperti Aisyah, Ummul mu’minin dalam hal-hal halal haram, ilmu pengetahuan syair serta pengobatan.(HR. Hakim)

Ilmu pengobatan yang dipelajari Aisyah dari utusan-utusan kabilah Arab yang berniat untuk Rasulullah SAW ketika beliau sakit menjelang wafat. Aisyah mempelajari ilmu pengobatan dari kabilah-kabilah Arab yang datang dan memberikan resep pengobatan untuk beliau.Aisyah berkata:”Akulah yang membuat resep itu dan dari sana aku belajar”.

Tidak ada waktu atau jam pelajaran tertentu bagi Aisyah untuk belajar, ia tinggal bersama Rasulullah dan memiliki kesempatan untuk menemani beliau sepanjang siang dan malam. Selain itu majlis-majlis ilmu dan dakwah selalu diadakan di masjid Nabawi setiap hari sementara kamar Aisyah berdempetan dengan masjid. Setiap kali ada persoalan yang tidak kita pahami atau ia dengar tidak baik, Aisyah selalu menanyakan kepada Rasulullah dirumah. Dalam beberapa kesempatan, Aisyah mendekat ke masjid agar ia dapat menyimak dengan jelas ajaran yang disampaikan oleh Rasulullah SAW. Dengan begitu Aisyah memiliki banyak kesempatan untuk mempelajari sunnah-sunnah Rasul tentang banyak hal diberbagai bidang pengetahuan.

Berdasarkan hadits-hadits tampak dengan jelas mengajarkan kepada Aisyah hukum-hukum agama serta persoalan-persoalan syariat dalam berbagai bidang, Aisyah mempelajari dengan penuh semangat, dengan telinga terbuka dan hati sadar, iapun kemudian mengamalkan ajaran-ajaran itu secara tekun dan konsisten.

Salah satu contoh ketekunan Aisyah dalam menjalankan ajaran-ajaran Rasululllah tercermin pada pernyataannya,”Aku tetap melaksanakan sholat (dhuha) seperti aku melakukannya pada zaman Rasulullah, seandaikan ayahku dibangkitkan kembali lalu ia melarangku untuk melaksanakan sholat itu, maka aku tidak akan mengindahkan larangan-Nya”(HR.Ahmad)

Orang terpenting yang meriwayatkan dari siti Aisyah secara mutlak yaitu Urwah bin az Zubair bin al-Awwam. Dia adalah putra Asma bin Abu Bakar as-Shiddiq, ia telah meriwayatkan 75% riwayat Aisyah. Orang lain yang meriwayatkan Aisyah adalah al-Qosim bin Muhammad bin Abu Bakar as-Shiddiq yang dipelihara oleh Aisyah setelah ayahnya terbunuh.

C. Aktivitas Dakwah Aisyah r.a

Peran politisi Aisyah dalam kekacauan pada masa Utsman

1. Kedudukan Utsman dalam pandangan Aisyah

Aisyah adalah orang yang paling mengenali siapa Utsman, bagaimana keutamaan dan perikehidupannya, bagaimana kedudukannya yang tinggai disisi Rasulullah Saw. Inilah yang dikatakan Aisyah seperti yang diriwayatkan oleh Muslim didalam shahihnya,”Rasulullah saw berbaring didalam rumahku, membiarkan kain kedua paha atau betis beliau tersingkap. Abu Bakar meminta izin untuk masuk maka beliau mengizinkannya sementara keadaan beliau seperti itu, lalu beliau berbincang-bincang. Kemudian Umar meminta izin untuk masuk maka beliau duduk dan merapikan letak kain, lalu beliau berbincang-bincang, setelah mereka keluar rumah, Aisyah berkata:”Abu Bakar masuk sedang engkau bersikap lunak dan tak perduli terhadap dirinya, kemudian Umar masuk, engkau bersikap yang sama, kemudian Utsman masuk, engkau duduk dan merapikan letak kain engkau”

Beliau bersabda “apakah aku tidak layak kepada seorang lelaki yang para malaikatpun merasa malu kepadanya”.[6]

Ketika banyak orang yang mencaci Utsman, maka Aisyah menjawab “Allah melaknat siapapun yang melaknat Utsman, demi Allah dia pernah duduk didekat Rasulullah, sementara beliau menyandarkan punggungnya kepadaku, lalu beliau bersabda:”tulislah wahai Utsman”!

Aisyah berkata:”Allah tidak pernah menurunkan kedudukan seperti itu kecuali kepada orang yang mulia dihadapan Allah dan Rasul-Nya”.

2. Sikap Aisyah tentang pembunuhan terhadap Utsman

Tidak terlalu aneh jika sikap Aisyah terhadap pembunuhan Utsman, sama seperti sikap semua sahabat, yang marah terhadap pembunuhnya. Riwayat yang paling gambling menggambarkan hal ini ada pada at-Thabary, as-Sary, dari Syuaib, dari Saif, dari Muhammad dan Thalhah, yang didalamnya disebutkan”ketika orang-orang melarikan diri merunduk dihadapan Aisyah di Mekkah, maka ia menanyakan berita kepada mereka, lalu mereka mengabarkan terbunuhnya Utsman. Tak seorang pun diantara mereka yang menjawab bahwa pembunuhan itu karena persengkongkolan. Aisyah berkata:”Tapi dapat disimpulkan bahwa hal ini merupakan akibat yang harus ditanggung karena kalian mengabaikan perdamaian”.[7]

Dalam kasus pembunuhan Utsman ini, Aisyah memiliki pengamatan yang detail dan analisis yang mendalam terhadap perbuatan anak buah Abdullah bin Saba’ dan yang digerakkan perusuh, yang secara terang-terangan menunjukan pemberontakan terhadap kholifah seperti gambaran yang menyedihkan ini terkadang masih terjadi dalam sejarah orang-orang muslim hingga detik ini.

Kepedihan Aisyah terhadap bencana yang menimpa orang-orang muslim merupakan factor yang membuatnya tidak mau angkat bicara sepatah katapun. Hal ini juga menunjukan keinginan yang kuat untuk mencermati permasalahan.

3. Kepergian Aisyah ke Bashrah untuk mengadakan rekonsiliasi

a. Beberapa kejadian yang mendahului kepergian Aisyah

1) Baiat terhadap Ali bin Abi Thalib

2) Baiat Thalhah dan az-Zubair tehadap Ali

3) Negosiasi antara Ali dengan Thalhah dan az-Zubair untuk menegakkan hukum

4) Ali tidak menyinggung secara jelas penegakkan hukum dalam pidatonya

5) Thalhah dan az-Zubair menyampaikan rencananya kapada Ali

b. Kepergian Aisyah untuk menuntut darah Utsman

Aisyah merasa bahwa Utsman terbunuh sebagai orang yang dizhalimi, karena itu Aisyah menajak banyak sahabat untuk menuntut darah Utsman dan memuliakan islam. Kepergian Aisyah untuk menuntut darah Utsman disetujui oleh beberapa istri nabi yang lainnya meskipun sebagian tidak bersedia untuk ikut. Aisyah sendiri dan para sahabat yang bersamanya tidak memaksudkan kepergian ini untuk melawan Ali atau untuk melakukan perlawanan terhadap khalifahnya.

Kelayakan untuk melaksanakan rekonsiliasi diantara orang-orang muslim ini ada pada diri Aisyah, baik ditilik dari usia, pengetahuan, kemampuan dan kedudukannya. Sebab Aisyah adalah orang yang paling tahu diantara Ummahatul Mu’minin lainnya tentang ijma’ jumhur muslimin.

Aisyah juga sangat peduli terhadap berbagai urusan secara umum dan memiliki sosok politikus yang sudah terbentuk semenjak ia dibesarkan dirumah Abu Bakar, orang yang mendalami berbagai peristiwa bangsa Arab dan nasab-nasab mereka, yang kemudian hidup didalam rumah Rasulullah SAW yang dari rumah inilah keluar sendi-sendi pengendalian dualah islam. Kemudian ia berada dirumah kholifah kaum muslim yang pertama, ditambah lagi dengan pemahaman yang dimiliki tentang kedudukan wanita dalam islam dan tanggungjawabnya secara penuh bersama kaum laki-laki dalam mengemban urusan kaum muslimin dami kemashlahatan mereka.

Para pakar sudah mengakui kedudukan Aisyah yang tinggi ini, mereka menyatakan secara pasti. Az-Zuhry berkata:” sekiranya semua ilmu manusia, termasuk pula Ummahatul Mu’minin dikumpulkan menjadi satu, tentu ilmu Aisyah masih lebih luas daripada mereka.

Al-Ahnaf bin Qais pemimpin bani Tamim dan salah seorang orator bangsa Arab berkata:”aku pernah mendengar pidato Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali dan para kholifah sesudah mereka. Namun aku tidak pernah mendengar perkataan yang dilontarkan mulut makhluk yang lebih indah dan lebih baik daripada perkataan yang terlontar dari mulut Aisyah”. Muawiyah juga pernah mengatakan yang senada dengan perkataan ini.

Aisyah, Talhah, dan Az-Zubair serta para sahabat lainnya melihat kelambanan Ali dalam menegakkan hukuman terhadap orang-orang yang membunuh Utsman merupakan perubahan sikapnya, sehingga mereka mengira Ali mengabaikan masalah ini, apalagi pembunuhan terhadap Utsman sudah berlalu empat bulan.

Maka siapapun yang memiliki kedudukan, ilmu dan pemahaman seperti Aisyah, harus tampil sesuai ijtihad dan ilmunya. Patutkah orang semacam Aisyah tidak mau memperhatikan urusan kaum muslimin, sementara dia mengetahui bahwa siapa yang tidak memperhatikan urusan orang - orang muslim, maka tidak termasuk golongan mereka? Bagaimana mungkin dia tidak peduli, padahal dia mempunyai kedudukan yang terpandang di tengah mereka, dia adalah ibu mereka yang dididik di sekolah Islam dan tahu bagaiman menjaga hak – hak.

4. Perdamaian antara Aisyah-Ali

Setelah banyak perselisihan yang disebabkan isu – isu tidak jelas, yang menyebabkan peperangan antara pasukan Aisyah dengan penduduk Bashrah hingga terbunuhnya Utsman bin Hanif ( Gubernur Bashrah ), maka Aisyah mengirim surat ke berbagai wilayah untuk menyatakan tujuan mereka yaitu untuk menegakkan hukum Allah bukan untuk berperang atau melakukan perlawanan terhadap khalifah. Mendengar kabar ini, Ali menjadi tenang dan mereka tidak meragukan lagi terciptanya rekonsiliasi.

Ali hendak menegaskan kepada Aisyah, Talhah dan Zubair, keinginannya untuk melaksanakan rekonsiliasi. Buktinya, Ali tidak menuntut pemisahan orang-orang yang menolong untuk menuntut orang-orang yang membunuh Utsman, semenjak ia keluar dari Madinah. Apa yani dia lakukan disini karena dia mengadakan rekonsiliasi dengan Aisyah dan ornag-orangnya. Ali juga telah mengirim utusan kepada para pemuka rekan-rekannya untuk memusyawarahkan rekonsiliasi ini, tapi dia tidak mengirim utusan kepada orang yang telah membunuh Utsman.

Ini merupakan kali kedua semasa khilafahnya dia menuntut seperti itu seakan-akan dia sudah mengantongi kesepakatan orang-orang muslim, pendudu Kuffah dan Bashrah yang menjadi kekuatan baginya disamping dia tidak lagi khawatir terhadap nasib penduduk Madinah dari kekuasaan para perusuh. Karena itukah dia berani mengambil keputusan itu, padahal justru inilah yang menjadi bencana besar.[8]

5. Perang Jamal

Pada saat itu ada segolongan orang yang termasuk mereka yang menyerang Utsman dan menyerangnya, mengadakan pertemuan. Mereka terus saling bertukar pikiran hingga Abdullah bin Saba’ berkata kepada mereka:”sesungguhnya kemulian kalian terletak pada kekacauan manusia. Karena itu buatlah mereka kacau. Jika besok orang-orang saling bertemu, sulutlah peperangan dan jangan biarkan mereka berpikir lebih lanjut. Siapapun diantara kalian yang bersama Ali tidak mampu menghalang-halanginya, maka biarlah Ali, Thalhah dan Zubair sibuk sendiri, sedang kalian dapat memecah belah manusia, dan mereka tidak menyadarinya.[9]

Pada malam itu, saat mereka dalam situasi damai, kaki tangan Abdullah bin Saba’ menyulut api peperangan. Ka’ab bin Sur menemui Aisyah untuk meminta pertolongan.”ketahuilah ternyata mereka tidak menghendaki kecuali peperangan. Semoga Allah mendatangkan kebaikan lewat dirimu”.

Aisyah bangkitorang-orang memasang sekedupnya yang kokoh dan menyerahkan untanya.

Dalam kemelut peperangan itu Aisyah berusaha menghentikan peperangan begitu pula yang dilakukan oleh Thalhah, az-Zubair dan para sahabat yang semuanya, Aisyah berkata:”Lepaskan untaku wahai Ka’b, majulah dengan membawa kitab Allah dan serulah mereka kepadanya”. Sambil menyodorkan mushaf kepada Ka’b.

Para kaki tangan Abdullah bin Saba’ benar-benar takut sekiranya terjadi perdamaian diantara manusia. Ketika Ka’b menghadapi mereka sambil membawa mushaf dan Ali dibelakang mereka untuk menghentikan perbuatannya, teryata mereka tidak mau berhenti dan justru mereka semakin merangsek kedepan hingga mereka menghujam anak panah kepada Ka’b dan membunuhnya. Mereka juga melempari sekedup Aisyah. Maka Aisyah berteriak”wahai anakku, kebaikan, kebaikan”. Suaranya meninggi mengucapkan Allah..Allah ingatlah dan hisab”. Mereka tidak peduli, terlihat jelas bagaimana mereka sengaja hendak menghabisi Aisyah.[10]

Dimedan peperangan, ketika manusia disibukkan oleh peperangan, Muhammmad bin Thalhah berseru kepada Aisyah:”wahai ibu, perintahlah aku apapun yang engkau perintahkan”. Aisyah berkata:” aku memerintahkan agar engkau menjadi anak Adam yang paling baik jika engkau masih hidup”. Begitulah sosok Ummul mu’minin yang wara’ dan bertakwa dalam keadaan bagaimanapun.

Peperangan terus berlanjut hingga sore hari, ketika hari muali petang, Ali maju kedepan, unta sudah diamankan dan orang-orang menghentikan peperangan.

Aisyah dan Praktik Mengajar

Aisyah adalah guru dan pengasuh sebuah madrasah ilmu dan keagamaan di Madinah. Murid-murid yang termasuk mahrom di didik langsung dihadapannya, sedangkan laki-laki yang bukan mahrom belajar kepada aisyah dari balik tirai. Aisyah tidak pernah bosan untuk menjawab semua pertanyaan yang diajukan kepadanya tentang persoalan apapun yang menyangkut ajaran-ajaran Islam, termasuk tentang persoalan-persoalan pribadi. Dari madrasah yang diasuh oleh Aisyah itu lahir banyak ulama terutama dari kalangan Tabi’in.

Fatwa-fatwa Aisyah Pada Masa Khulafaur Rasyidin

Aisyah telah memegang posisi pemberi fatwa semenjak Rasulullah wafat, ia menjadi sumber rujukan umat islam dalam setiap persoalan hingga akhirnya iapun wafat. Setiap kali terjadi perselisihan pendapat diantara ulama, Aisyahlah yang mereka tuju untuk menghakimi persoalan itu.

Aisyah Membimbing dan Mengarahkan Umat Islam

Upaya-upaya yang dilakukan Aisyah dalam membimbing umat islam tidak bisa dipandang sebelah mata. Nilainya tidak kalah dibandingkan dengan apa yang dilakukan oleh para sahabat yang lain.


[1] Aisyah The True Beuty, Sulaiman an-Nadawi,2007:hal 3

[2] Tafsir Aisyah, Dr. Abdullah Abu as-Su’ud,2000:hal 17

[3] Aisyah The True Beuty, Sulaiman an-Nadawi,2007:hal 44

[4] Ibid, hal 234

[5] Ibid, hal 236

[6] Peran Politik Wanita Dalam Sejarah Islam, Asma’ M. Ziadah, 2000:hal 252

[7] Ibid, hal 253

[8] Ibid, hal:331

[9] Ibid, hal:331

[10] Ibid, hal:332

You Might Also Like

1 comments

Popular Posts

Like us on Facebook

Flickr Images

Subscribe